by Amira Paripurna
Perhatian serius terhadap dunia pendidikan kini tengah diperlihatkan oleh Pemkab Jember, yaitu dengan melaksanakan sebuah program pendidikan untuk semua (Education for All), dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi sekolah umum dan keperluan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, yaitu menyediakan sarana belajar dan akan membuka kelas inklusi bagi penyandang cacat (Radar Jember,18/1). Boleh dibilang bahwa pengambilan kebijakan dibidang pendidikan dengan memberikan perhatian khusus kepada para penyandang cacat masih tergolong langka. Jangankan pemerintah didaerah, pemerintah pusat pun selama ini nyaris mengabaikan kebutuhan-kebutuhan fasilitas khusus bagi para penyandang cacat, karenanya kebijakan yang saat ini diambil oleh Pemkab Jember memang patut diacungi jempol.
Pemenuhan kebutuhan khusus bagi penyandang cacat, termasuk pemenuhan kebutuhan dibidang pendidikan bukan berarti memanjakan maupun memberikan keistimewaan melainkan memberikan apa yang menjadi haknya sesuai dengan kebutuhan khususnya. Dari data yang ada dapat diketahui bahwa baru sekitar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau sekitar 4% saja yang kini berkesempatan dan memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB). Memprihatinkan memang jika melihat angka-angka tersebut, bisa dibayangkan bagaimana masa depan anak-anak penyandang cacat yang hidup di Indonesia. Kondisi mereka ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, dalam kondisi fisik yang tidak sempurna tidak dapat merasakan pendidikan yang cukup dan mau tidak mau harus hidup selamanya dalam suatu sistem kehidupan masyarakat yang tidak mendukung dan sangat terbatas baik dari sisi sarana maupun prasarana.
Bagaimana seharusnya pemerintah maupun masyarakat memenuhi kebutuhan khusus para penyandang cacat utamanya dibidang pendidikan? Dan apapula yang dimaksud pemberian kesempatan yang sama untuk penyandang cacat dengan berbasis HAM? Tulisan ini hendak membahas kedua hal tersebut dan memberikan pandangan baru terhadap pola pemenuhan kebutuhan khusus bagi penyandang cacat.
Pemenuhan Kebutuhan Khusus Penyandang Cacat Berbasis HAM
Seperti ulasan diatas, nasib penyandang cacat di Indonesia memang cukup memprihatinkan, meski telah ada UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat nasib mereka tetap saja terpinggirkan hampir disemua sektor, mulai dari sektor pendidikan, pekerjaan, kesehatan, sampai pada aksesibilitas untuk menikmati fasilitas-fasilitas publik. Sejumlah aturan yang mengharuskan keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik itu oleh kalangan swasta maupun pemerintah sendiri. Walau begitu tak bisa dipungkiri juga bahwa masih ada sebagian masyarakat, swasta maupun kebijakan pemerintah yang memberikan perhatian terhadap kebutuhan khusus penyandang cacat meskipun masih tergolong sangat minim. Yang sangat disayangkan adalah selain minim upaya-upaya perhatian yang diberikan kepada penyandang cacat lebih didasari atas motivasi belas kasihan dan dianggap sebagai bagian kegiatan-kegiatan sosial semata.
2 tahun yang lalu tepatnya pada 30 Maret 2007, lebih dari 70 negara termasuk Indonesia telah menandatangani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Pengakuan konvensi ini oleh sejumlah negara telah menjadi menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban Negara Pihak untuk mewujudkannya. Hal ini nampak pada prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi, yaitu menghormati harkat dan martabat Penyandang Cacat, non-diskriminatif, partisipasi penuh, aksedibilitas, penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan penyandang cacat sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan.
Sesungguhnya tidak ada hak-hak baru bagi penyandang cacat yang termuat di dalamnya juga tidak ada sesuatu hak yang warga masyarakat lainnya tidak miliki sebelumnya. Konvensi ini lebih menekankan bahwa penyandang cacat harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak-haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya. Konvesi ini juga menekankan sekaligus merupakan refleksi perubahan paradigma dalam penanganan masalah penyandang cacat dari yang bersifat remedial dan belas kasihan pada pendekatan hak asasi manusia (HAM).
Berangkat dari Konvensi Internasional tersebut sudah semestinya pemerintah maupun masyarakat merubah cara pandang dan pola pikir (mindset) terhadap penyandang cacat. Pandangan bahwa penyandang cacat sebagai orang yang tak layak masuk dalam ruang publik dan pandangan sinis terhadap mereka akan menimbulkan sikap yang secara tidak langsung maupun langsung mengeliminasi dan mendiskriminasikan orang cacat dari kehidupan sosial.
Kebutuhan Khusus di Bidang Pendidikan
Lingkungan pendidikan Indonesia belum benar-benar memenuhi hak, keperluan & kebutuhan para penyandang cacat, contohnya belum semua lembaga pendidikan tinggi memberikan kesempatan bagi penyandang cacat, padahal pendidikan formal SLB hanya sampai pada tingkat SMP, selanjutnya hanya dibekali ketrampilan-ketrampilan kemandirian agar bisa berproduksi. Para penyandang cacat seharusnya diberi kesempatan yang sama dalam menempuh pendidikan tinggi. Kecacatan fisik mereka bukanlah penghalang bagi mereka untuk belajar.
Sistem pembelajaran inklusif yang sebenarnya telah diwajibkan Depdiknas juga belum terlaksana di lapangan. Sistem ini ditujukan agar penyandang cacat dapat duduk sejajar dengan siswa lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama. Hal ini telah diberlakukan di negara-negara maju seperti Belanda, Inggris, Amerika. Hasilnya, anak-anak penyandang cacat memperoleh kepercayaan diri yang lebih baik, bahkan mampu menunjukkan prestasi akademik yang sepadan dan unggul dengan anak-anak peserta didik yang tidak cacat secara fisik. Sedangkan rekan-rekannya yang tidak cacat lebih mampu bersikap toleran dan berempati terhadap mereka.
Dapat dipahami sekarang bahwa sesungguhnya masalahnya bukan terletak pada keterbatasan fisik mereka,tetapi justru terletak pada tidak diberikannya kesempatan yang sama dan tidak dipenuhinya kebutuhan khusus mereka sebagai penyandang cacat.
Untuk itu, saatnya pemerintah melaksanakan kebijakan pengarusutamaan masalah kecacatan, misalnya dengan sistem pembiayaan pembangunan yang peka terhadap isu disabilitas (disability budgeting) artinya, setiap sektor dan setiap level pemerintahan, memasukan orang dengan disabilitas sebagai sasaran pelayanannya termasuk menganggarkan pembiayaan untuk keperluan tersebut. Apalagi dengan kebijakan nasional mengenai besarnya anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN, seharusnya dapat menjadi peluang emas bagi para pengambil kebijakan untuk memenuhi kebutuhan khusus para penyandang cacat dibidang pendidikan.
Kita semua berharap semoga langkah maju Pemkab Jember untuk memberi perhatian dibidang pendidikan khususnya bagi penyandang cacat tidak hanya menjadi kebijakan dan perhatian yang muncul sebagai wacana indah tetapi kering pelaksanaan. Para penyandang cacat itu tidak meminta banyak dan bukan pula belas kasihan yang mereka butuhkan. Yang mereka inginkan adalah pemenuhan hak-hak asasinya sebagaimana warga negara yang lain. Para penyandang cacat itu memerlukan perhatian dan kepedulian yang jujur dan benar-benar dilaksanakan.
Perhatian serius terhadap dunia pendidikan kini tengah diperlihatkan oleh Pemkab Jember, yaitu dengan melaksanakan sebuah program pendidikan untuk semua (Education for All), dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi sekolah umum dan keperluan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, yaitu menyediakan sarana belajar dan akan membuka kelas inklusi bagi penyandang cacat (Radar Jember,18/1). Boleh dibilang bahwa pengambilan kebijakan dibidang pendidikan dengan memberikan perhatian khusus kepada para penyandang cacat masih tergolong langka. Jangankan pemerintah didaerah, pemerintah pusat pun selama ini nyaris mengabaikan kebutuhan-kebutuhan fasilitas khusus bagi para penyandang cacat, karenanya kebijakan yang saat ini diambil oleh Pemkab Jember memang patut diacungi jempol.
Pemenuhan kebutuhan khusus bagi penyandang cacat, termasuk pemenuhan kebutuhan dibidang pendidikan bukan berarti memanjakan maupun memberikan keistimewaan melainkan memberikan apa yang menjadi haknya sesuai dengan kebutuhan khususnya. Dari data yang ada dapat diketahui bahwa baru sekitar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau sekitar 4% saja yang kini berkesempatan dan memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB). Memprihatinkan memang jika melihat angka-angka tersebut, bisa dibayangkan bagaimana masa depan anak-anak penyandang cacat yang hidup di Indonesia. Kondisi mereka ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, dalam kondisi fisik yang tidak sempurna tidak dapat merasakan pendidikan yang cukup dan mau tidak mau harus hidup selamanya dalam suatu sistem kehidupan masyarakat yang tidak mendukung dan sangat terbatas baik dari sisi sarana maupun prasarana.
Bagaimana seharusnya pemerintah maupun masyarakat memenuhi kebutuhan khusus para penyandang cacat utamanya dibidang pendidikan? Dan apapula yang dimaksud pemberian kesempatan yang sama untuk penyandang cacat dengan berbasis HAM? Tulisan ini hendak membahas kedua hal tersebut dan memberikan pandangan baru terhadap pola pemenuhan kebutuhan khusus bagi penyandang cacat.
Pemenuhan Kebutuhan Khusus Penyandang Cacat Berbasis HAM
Seperti ulasan diatas, nasib penyandang cacat di Indonesia memang cukup memprihatinkan, meski telah ada UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat nasib mereka tetap saja terpinggirkan hampir disemua sektor, mulai dari sektor pendidikan, pekerjaan, kesehatan, sampai pada aksesibilitas untuk menikmati fasilitas-fasilitas publik. Sejumlah aturan yang mengharuskan keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik itu oleh kalangan swasta maupun pemerintah sendiri. Walau begitu tak bisa dipungkiri juga bahwa masih ada sebagian masyarakat, swasta maupun kebijakan pemerintah yang memberikan perhatian terhadap kebutuhan khusus penyandang cacat meskipun masih tergolong sangat minim. Yang sangat disayangkan adalah selain minim upaya-upaya perhatian yang diberikan kepada penyandang cacat lebih didasari atas motivasi belas kasihan dan dianggap sebagai bagian kegiatan-kegiatan sosial semata.
2 tahun yang lalu tepatnya pada 30 Maret 2007, lebih dari 70 negara termasuk Indonesia telah menandatangani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Pengakuan konvensi ini oleh sejumlah negara telah menjadi menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban Negara Pihak untuk mewujudkannya. Hal ini nampak pada prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi, yaitu menghormati harkat dan martabat Penyandang Cacat, non-diskriminatif, partisipasi penuh, aksedibilitas, penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan penyandang cacat sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan.
Sesungguhnya tidak ada hak-hak baru bagi penyandang cacat yang termuat di dalamnya juga tidak ada sesuatu hak yang warga masyarakat lainnya tidak miliki sebelumnya. Konvensi ini lebih menekankan bahwa penyandang cacat harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak-haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya. Konvesi ini juga menekankan sekaligus merupakan refleksi perubahan paradigma dalam penanganan masalah penyandang cacat dari yang bersifat remedial dan belas kasihan pada pendekatan hak asasi manusia (HAM).
Berangkat dari Konvensi Internasional tersebut sudah semestinya pemerintah maupun masyarakat merubah cara pandang dan pola pikir (mindset) terhadap penyandang cacat. Pandangan bahwa penyandang cacat sebagai orang yang tak layak masuk dalam ruang publik dan pandangan sinis terhadap mereka akan menimbulkan sikap yang secara tidak langsung maupun langsung mengeliminasi dan mendiskriminasikan orang cacat dari kehidupan sosial.
Kebutuhan Khusus di Bidang Pendidikan
Lingkungan pendidikan Indonesia belum benar-benar memenuhi hak, keperluan & kebutuhan para penyandang cacat, contohnya belum semua lembaga pendidikan tinggi memberikan kesempatan bagi penyandang cacat, padahal pendidikan formal SLB hanya sampai pada tingkat SMP, selanjutnya hanya dibekali ketrampilan-ketrampilan kemandirian agar bisa berproduksi. Para penyandang cacat seharusnya diberi kesempatan yang sama dalam menempuh pendidikan tinggi. Kecacatan fisik mereka bukanlah penghalang bagi mereka untuk belajar.
Sistem pembelajaran inklusif yang sebenarnya telah diwajibkan Depdiknas juga belum terlaksana di lapangan. Sistem ini ditujukan agar penyandang cacat dapat duduk sejajar dengan siswa lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama. Hal ini telah diberlakukan di negara-negara maju seperti Belanda, Inggris, Amerika. Hasilnya, anak-anak penyandang cacat memperoleh kepercayaan diri yang lebih baik, bahkan mampu menunjukkan prestasi akademik yang sepadan dan unggul dengan anak-anak peserta didik yang tidak cacat secara fisik. Sedangkan rekan-rekannya yang tidak cacat lebih mampu bersikap toleran dan berempati terhadap mereka.
Dapat dipahami sekarang bahwa sesungguhnya masalahnya bukan terletak pada keterbatasan fisik mereka,tetapi justru terletak pada tidak diberikannya kesempatan yang sama dan tidak dipenuhinya kebutuhan khusus mereka sebagai penyandang cacat.
Untuk itu, saatnya pemerintah melaksanakan kebijakan pengarusutamaan masalah kecacatan, misalnya dengan sistem pembiayaan pembangunan yang peka terhadap isu disabilitas (disability budgeting) artinya, setiap sektor dan setiap level pemerintahan, memasukan orang dengan disabilitas sebagai sasaran pelayanannya termasuk menganggarkan pembiayaan untuk keperluan tersebut. Apalagi dengan kebijakan nasional mengenai besarnya anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN, seharusnya dapat menjadi peluang emas bagi para pengambil kebijakan untuk memenuhi kebutuhan khusus para penyandang cacat dibidang pendidikan.
Kita semua berharap semoga langkah maju Pemkab Jember untuk memberi perhatian dibidang pendidikan khususnya bagi penyandang cacat tidak hanya menjadi kebijakan dan perhatian yang muncul sebagai wacana indah tetapi kering pelaksanaan. Para penyandang cacat itu tidak meminta banyak dan bukan pula belas kasihan yang mereka butuhkan. Yang mereka inginkan adalah pemenuhan hak-hak asasinya sebagaimana warga negara yang lain. Para penyandang cacat itu memerlukan perhatian dan kepedulian yang jujur dan benar-benar dilaksanakan.
Comments
Post a Comment