Dekriminalisasi Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik

Dekriminalisasi Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik
(Belajar dari Kasus RS Omni Internasional Vs Prita Mulyasari)

Artikel ini dimuat di Harian Surya 19/6/2009

Pemberitaan media massa beberapa hari ini telah diramaikan dengan mencuatnya peristiwa penahanan Prita Mulyasari yang menjadi tersangka dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional. Berawal dari surat curahan hati (curhat) yang dilayangkannya melalui surat elektronik, dalam sesaat telah mampu mengubah kehidupan seorang ibu rumah tangga itu menjadi seorang tahanan di Lapas Tangerang.

Kasus RS Omni Internasional vs Prita Mulyasari dan jeratan pasal pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam 27 (3) jo 45 (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seakan telah menjadi hantu dan momok baru bagi masyarakat utamanya para pemanfaat teknologi Internet, yang ingin mendistribusikan dan mentransmisikan informasi serta dokumen elektronik yang dimilikinya.

Karenanya, tulisan ini hendak membahas bagaimana seharusnya tindak pencemaran nama baik itu diatur dan diterapkan sehingga masyarakat tidak dihantui oleh rasa kawatir dan takut dengan bayang-bayang jerat pidana pasal pencemaran nama baik dan tidak menjadi kehilangan haknya untuk berekspresi sekaligus mencari dan mendapatkan informasi?

Pencemaran Nama Baik, Pidana atau Perdata?
Pencemaran nama baik merupakan istilah hukum yang digunakan untuk menuduh seseorang mengenai suatu fakta yang tepat sehingga mencoreng nama baik. Fakta tersebut haruslah tercetak, disiarkan, diucapkan atau dikomunikasikan dengan orang lain. Disamping itu pencemaran nama baik bisa pula dikategorisasikan dalam bentuk fitnah (defamation), yakni suatu pernyataan dalam suatu bentuk tertulis atau bentuk lainnya dan hujatan (libel), yang merupakan suatu pernyataan lisan atau sikap.

Dasar diadakannya pasal pencemaran nama baik sesungguhnya dibuat untuk melindungi seseorang terhadap tulisan-tulisan bernada dengki dan tidak benar mengenai seseorang dan disisi lain untuk mengimbangi hak kemerdekaan berpendapat dan kebutuhan untuk melindungi nama baik seseorang.

Pencemaran nama baik dalam hukum pidana Indonesia diatur dalam bab XVI tentang Penghinaan yang terdiri dari Pasal 310-321, dengan kualifikasi tindak pidana berupa pencemaran karena menyerang kehormatan atau nama baik (Pasal 310), Fitnah (Pasal 311), Penghinaan Ringan (pasal 315), Pengaduan Fitnah (Pasal 317), Persangkaan palsu (pasal 318), pencemaran nama baik orang mati (pasal 320), pencemaran nama baik orang mati dengan gambar dan tulisan (pasal 321), serta pasal 27 (3) UU ITE yang mengkriminalisasi setiap tindakan pendistribusian dan pentransmisian dokumen dan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan/pencemaran nama baik.

Pasal-pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP ini sebelumnya telah banyak memakan korban yang berujung pada pemenjaraan dan tuntutan ganti kerugian terhadap jurnalis dan industri pers akibat pemberitaan yang dianggap menyerang kehormatan dan menyinggung martabat penguasa, pejabat publik, badan negara ataupun lembaga nasional. Tidak adanya standar yang obyektif dari pencemaran nama baik ini, menjadikan pasal-pasal tersebut sering digunakan secara sewenang-wenang oleh mereka yang menjadi sumber pemberitaan untuk memutuskan bahwa dirinya/lembaganya merasa ‘tercemar’, ‘terhina’, ‘tersinggung’ dan ‘terfitnah’.

Dibanyak negara dalam sistem undang-undang pidananya memang menjadikan pencemaran nama baik sebagai tindak pidana (delict), namun digunakannya proses pidana dan penjatuhan sanksi pidana berupa pemenjaraan relatif jarang dilakukan, ketentuan pasal pencemaran nama baik diterapkan dengan secara hati-hati dan menjauhi sifat kewenang-wenangan.

Bahkan kecenderungan hukum internasional memperlihatkan penyelesaikan serangkaian tindakan pencemaran nama baik tidak dilakukan dengan mengedepankan sarana pidana (penal) melainkan secara keperdataan. Hal ini nampak setidaknya dalam empat kesempatan dimana Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) telah menolak upaya sejumlah negara untuk menjatuhkan hukuman terhadap kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan sanksi-sanksi pidana. Serta pandangan daripada Komisi Hak-hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNCHR) juga menunjukkan hal yang hampir serupa bahwa penggunaan hukuman pidana dalam kasus-kasus pencemaran nama baik dianggap menjadi suatu petunjuk kunci bahwa telah terdapat pembatasan akan kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Berdasarkan standar hukum HAM Internasional pasal 19 Kovenan Internasional Hak-hak sipil dan politik, kebebasan berekspresi tidaklah bersifat mutlak karenanya masih dimungkinkan adanya pembatasan dalam kebebasan berekspresi. Pembatasan ini memang mungkin untuk dilakukan dengan alasan untuk melindungi hak atau reputasi orang lain, ketertiban umum, moral atau kesehatan umum. Namun untuk mencegah digunakannya alasan pembatasan tersebut secara sewenang-wenang maka pembatasan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu ditetapkan dalam undang-undang (provided by law), pembatasan bertujuan untuk melindungi kepentingan yang sah (for the purpose of safeguarding a legitimate interest) dan benar-benar dibutuhkan untuk melindungi kepentingan sah tersebut (necessary).

Meskipun pembatasan tersebut telah ditetapkan oleh undang-undang, namun apabila didalam ketentuan pasal-pasalnya didefinisikan secara luas dan kabur maka pembatasan ini menjadi tidak dibenarkan. Dan pada intinya pengaturan dan penerapan pembatasan-pembatasan tersebut haruslah benar-benar dibutuhkan (necessary), yang berarti dilakukannya pembatasan tidak boleh sewenang-wenang (arbitrary), tidak adil (unfair) dan mengada-ada/ pertimbangan yang tidak masuk akal (based on irrational considerations), serta tidak boleh dilakukan selama masih ada ‘cara-cara lain’ yang masih dapat diambil dan tidak bersifat menekan. Pembatasan juga menjadi tidak perlu untuk dilakukan apabila kepentingan yang dilindungi tidak secara signifikan lebih besar dibandingkan kerugian dari pembatasan tersebut terhadap kebebasan berekspresi.

Dekriminalisasi Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik dan Alternatif Penyelesaiannya

Kelompok pendukung kebebasan berekspresi dalam hal ini seringkali terwakili dalam kelompok aliansi jurnalis baik skala nasional,regional maupun internasional gencar untuk mengupayakan dilakukannya dekriminalisasi pasal pidana pencemaran nama baik.

Penting untuk selalu diingat bahwa ketentuan pasal pidana pencemaran nama baik, seringkali didefinisikan secara meluas dan kabur berpotensi besar memasung kebebasan berekspresi masyarakat dan dipergunakan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa yang anti terhadap kritik serta kontrol public/ masyarakat. Upaya ini tentunya patut untuk mendapatkan dukungan, karena melalui dekriminalisasi ini hak warga negara yang berdaulat yaitu hak untuk bebas mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, serta hak untuk memperoleh informasi (public right to know) dapat terpenuhi, masyarakat pun terindar dari ‘ancaman’ ketakutan untuk bersuara dan berekspresi. Lebih dari itu pasal pidana pencemaran nama baik sudah tak dapat diterima dalam alam demokrasi modern.

Jika pasal pidana pencemaran nama baik telah dicabut dan ditiadakan dalam perundang-undangan pidana maka untuk memberikan perlindungan yang berimbang dimana disatu sisi melindungi nama baik seseorang dan pada saat yang juga menjamin perlindungan terhadap kemerdekaan berekspresi warga masyarakat, maka mekanisme penyelesaian secara keperdataan (pemberian ganti kerugian yang masuk akal dan seimbang) menjadi alternatif yang utama, ditambah permintaan maaf yang jelas dan cepat menjadi pemulih yang lebih efektif bagi seseorang maupun lembaga yang dirugikan nama baiknya.

Penutup
Dengan mencuatnya kasus Prita Mulyasari ini dan lebih-lebih dikaitkan dengan ketentuan pasal 27 (3) UU ITE, dapat dijadikan sebagai contoh nyata bahwa pasal pidana pencemaran nama baik, telah diterapkan penuh dengan kesewenang-wenangan (arbitrary) oleh aparat hukum dan kepentingan pihak yang lebih berkuasa.

Bagaimanapun UU ITE tetap dibutuhkan kehadirannya dalam era teknologi yang melaju begitu pesat, namun sejumlah pasal yang potensial untuk disalahgunakan penerapannya, sudah sepatutnya dikaji dan direvisi kembali. Selain itu, untuk menghindari kontroversi, kecaman dan ketidakpercayaan dari publik, maka aparat pelaksana dan penegak hukum perlu untuk selalu mengingat beberapa prinsip dalam pemerintahan yang baik diantaranya prinsip jujur dan terbuka dengan selalu bersikap adil dan membela kepentingan masyarakat tanpa keberpihakan pada seseorang dan sekelompok orang. Selain itu selalu memperhatikan prinsip kepantasan dan kewajaran yang berarti setiap peristiwa pelanggaran harus diperlakukan dengan pantas dan wajar tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun, dan prinsip pertanggungjawaban, yang berarti penegak hukum harus dapat bertanggung jawab atas tindakannya baik berdasar hukum tertulis dan tidak tertulis.

Dengan begitu tak seharusnya dan tak perlu lagi ada warga masyarakat yang menjadi korban dan mengalami nasib yang serupa seperti Ibu Prita Mulyasari.

versi cetak artikel di Harian Surya:


Comments

  1. sepertinya saya membutuhkan UU ITE dan juga KUHP bab XVI tentang fitnah, saya dalam kondisi terbalik dengan ibu Prita Mulyasari, dan saya cukup yakin bahwa unsur-unsur pencemaran nama baik dan fitnah/perbuatan tidak menyenangkan yang saya alami dapat di buktikan, namun msh ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang membuat saya masih menahan diri.
    terima kasih atas informasi yang telah anda berikan, sangat membantu saya.

    ReplyDelete

Post a Comment