Aparat Hukum versus "Pejudi" Kecil

Aparat Hukum versus "Pejudi" Kecil
Oleh: Amira Paripurna
Artikel ini dimuat di harian Jawa Pos 29 Juli 2009
versi cetak/printed version  click here

PEMBERITAAN media massa dan elektronik kembali ramai menyoroti dihelatnya sidang kedua di PN Tangerang, Banten, terhadap sepuluh anak yang didakwa berjudi koin di Bandara Soekarno Hatta. Sepuluh anak itu sungguh tidak berdaya menghadapi "sepak terjang" aparat penegak hukum yang bekerja secara represif.

Kejadian tersebut seolah semakin menegaskan bahwa perayaan Hari Anak Nasional sepekan lalu hanya seremonial semata, tidak menyentuh substansi masalah anak-anak kita.

Peristiwa tersebut juga kembali mengusik nurani keadilan kita dan menimbulkan segudang pertanyaan. Bagaimanakah sebenarnya berjalannya hukum di negara ini terhadap anak-anak yang diduga telah melakukan suatu perbuatan kriminal (pidana)? Apakah langkah-langkah represif aparat penegak hukum terhadap mereka dapat dibenarkan?

Anak Nakal v Pengadilan Anak

Undang-Undang (UU) Pengadilan Anak telah 13 tahun disahkan oleh pemerintah. Dengan adanya UU tersebut, anak-anak yang berhadapan dengan masalah hukum harus mendapatkan perlakuan berbeda. Mulai menjalani proses peradilan pidana dari tingkat penyidikan, penuntutan, proses pemeriksaan di sidang, hingga pembinaannya.

Setidaknya, ada sepuluh asas prinsip dalam UU yang membedakan perbedaan perlakuan antara anak dan orang dewasa yang berhadapan dengan hukum. Asas-asas tersebut di antaranya adalah adanya pembatasan umur (hanya anak berumur 8-18 tahun yang dapat disidangkan), pembatasan ruang lingkup masalah, penanganan oleh pejabat khusus (dilakukan oleh penyidik, penuntut, dan hakim anak), dan pemeriksaan oleh hakim tunggal. Kemudian, keharusan splitsing (anak-anak tidak boleh diadili bersama-sama orang dewasa) dan diakuinya peran pembimbing kemasyarakatan (pekerja sosial dan pekerja sosial sukarela).

Berikutnya, acara pemeriksaan dilakukan secara tertutup dan kekeluargaan. Selanjutnya, masa penahanan yang lebih singkat dan penjatuhan hukuman yang lebih ringan (pidana penjara menjadi setengah dari maksimum pidana penjara bagi orang dewasa dan maksimal hukuman yang boleh dijatuhkan sepuluh tahun).

Jika melihat sepuluh asas dan prinsip dalam UU itu, tentunya tindakan aparat penegak hukum sah. Sebab, hal tersebut diatur dalam hukum formal. Jika benar perjudian tersebut dilakukan dengan niat untuk berjudi dan seluruh unsur pidana dalam pasal 303 KUHP terbukti, tindakan aparat penegak hukum untuk memproses sepuluh anak itu atau menjatuhkan hukuman maksimal sesuai dakwaan jaksa adalah benar dan sah secara hukum.

Dengan begitu, kita tak perlu lagi berteriak-teriak menghujat kerja aparat yang represif dan semena-mena terhadap anak-anak tersebut. Namun, sesederhana itukah nalar dan nurani kita dalam menyikapi peristiwa ini?

Kepentingan Terbaik Anak

Secara filosofis, tujuan diadakannya hukum dan aturan hukum adalah mencapai cita-cita keadilan, kepastian, dan ketertiban hukum di dalam masyarakat. Namun, dalam praktiknya, mewujudkan tiga cita-cita hukum itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Jika tujuan keadilan hukum dikedepankan, yang sering terjadi adalah tujuan kepastian hukum cenderung terabaikan. Sebaliknya, jika nilai-nilai keadilan yang dikedepankan, ketertiban dan kepastian hukum cenderung terganggu. Karena itu, di dalam hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana, sering terjadi disparitas dalam pidana dan pemidanaannya.

Dalam kasus ini, aparat seolah ingin menunjukkan taringnya bahwa kepastian dan ketertiban hukum harus ditegakkan. Perjudian harus diberantas. Siapa pun pelakunya, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Atas nama ketertiban dan kepastian hukum, anak-anak tersebut harus diciduk, ditangkap, dan diadili.

Namun, yang terjadi kemudian adalah terusiknya rasa keadilan. Yakni, adanya sikap tidak adil dari aparat yang lebih dulu meringkus dan menangkap anak-anak kecil tak berdaya ketimbang membekuk para pejudi kelas kakap dan penjahat-penjahat kerah putih yang merongrong negara ini. Mengapa hal tersebut terjadi? Apakah itu disebabkan sepuluh anak-anak tersebut adalah berasal dari golongan tak mampu?

Inilah yang sejatinya menjadi masalah. Sebab, dalam mempertimbangkan cita-cita hukum yang terlebih dahulu dikedepankan, rupanya para aparat lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor mengejar kepentingan sesaat dan "kesejahteraan" pribadi.

Dalam menghadapi anak-anak yang berkonflik dengan hukum, upaya-upaya hukum formal merupakan the last resort yang baru bisa dijalankan setelah upaya-upaya nonhukum mentok atau menemui jalan buntu. Hal ini sejalan dengan kesepakatan dalam dunia dan masyarakat internasional.

Dalam kasus penangkapan dan penyidangan sepuluh anak tersebut, kepentingan terbaik bagi anak rupanya benar-benar terabaikan. Terutama, mental dan kejiwaan mereka. Belum lagi terabaikannya hak pendidikan mereka serta hak mendapatkan perlindungan dan rasa aman. Padahal, dalam menyikapi seluruh masalah tentang perlindungan terhadap hak-hak anak, prinsip the best interest of the child (kepentingan terbaik bagi anak) harus selalu dikedepankan sebagaimana tertuang dalam Konvensi Internasional Hak Anak.

Sayang, belum banyak aparat penegak hukum kita yang mau memahami dan melek pada prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak-hak anak sekaligus upaya-upaya pemenuhannya. Akibatnya, aparat penegak hukum bekerja ibarat robot yang diciptakan sebagai corong undang-undang. Mereka hanya berjalan berdasar aturan-aturan prosedural semata. (*)





Comments

  1. masih u mending kalo jadi robot hukum,kenyataannya yg ada sekarang menjadi robot penguasa

    ReplyDelete

Post a Comment