Mendidik Anak Tanpa Kekerasan

Sewaktu saya masih berada di Belanda, dalam setiap kesempatan entah pada saat saya berkunjung ke rumah beberapa teman dan sahabat yang memiliki anak yang masih berkumpul dan tinggal satu atap dengan mereka, di tempat-tempat umum, di dalam bus atau kereta, disudut-sudut taman kota dan taman bermain, seringkali hingga berjam-jam saya berusaha mengamati interaksi orang tua dengan anaknya dan sekaligus sedikit-sedikit saya juga berusaha ‘menguping’ isi pembicaraan mereka.
Terus terang saya begitu menikmati “pemandangan” itu, karena interaksi yang terbentuk begitu egaliter dan terbuka. Kebanyakan orang tua yang sempat saya jumpai nampaknya selalu memiliki waktu dan energy yang cukup untuk meladeni setiap pertanyaan, pernyataan sang anak yang bagi orang dewasa mungkin pertanyaan dan pernyataan itu bukanlah hal yang penting dan remeh temeh. dan merekapun siap untuk berdiskusi bersama mendengarkan keinginan dan keluhan anak mereka. Yang saya lihat orang tua dan anak seperti sepasang sahabat, komunikasi mereka hidup, mereka berdialog berdiskusi,curhat dan sesekali bercanda bersama. Namun pada suatu ketika, pernah juga saya menjumpai seorang ibu yang tengah berjalan bersama anaknya yang berumur kira-kira 7 tahun, di pusat perbelanjaan tiba-tiba bisa berperilaku begitu agresif dan kasar mencubit dan memukul punggung anaknya dengan kerasnya dan itupun dilakukannya berulang-ulang hingga sang anak nampak kesakitan hanya karena sang anak merengek-rengek meminta sepasang penghias rambut.
Hingga suatu hari saya dapatkan sebuah laporan pelaksanaan HAM di Negara Belanda,saya skip beberapa lembar laporan tersebut dan langsung menuju pada bagian laporan pelaksanaan hak hak anak. Suatu data yang menakjubkan saya dapati, bahwa setiap tahunnya ada sekitar 80 anak dilaporkan telah meninggal akibat kekerasan fisik dan menjalani corporal punishment (hukuman fisik) yang diberikan oleh orang tua ataupun pendidiknya. Ternyata dibalik tingkat jaminan kesejahteraan secara social yang tinggi dan sudah pasti diberikan oleh pemerintah, anak-anak itu belum aman dan bebas dari perilaku abusive orang-orang dewasa ataupun orang tua yang seharusnya melindungi mereka.
Pikiran saya lantas beralih dan berusaha membandingkan kepada kondisi kekerasan yang dialami oleh anak di Indonesia. Kalau dilihat dari sisi perlakuan abusive dari orang tua atau pendidik atau orang dewasa lainnya yang diterima oleh anak-anak, mungkin kondisinya tak jauh beda antara Indonesia dan Belanda. Lihat saja, betapa sering kita dengar pemberitaan mengenai anak yang menderita luka-luka berat hingga menyebabkan kematiannya akibat siksaan dari orang tuanya, anak didik yang dipukul atau ditampar oleh gurunya dan mendapatkan hukuman badan lainnya hingga terluka ataupun meninggal. Terakhir data yang saya dapatkan, menurut catatan Komnas Perlindungan Anak (Komnas Anak), data anak yang mengalami kekerasan fisik dan psikis yang berhasil mereka pantau adalah sebanyak 21.872 (hingga Juni 2008) . Data itupun belum menyeluruh, karena Negara kita belum mempunyai system pendataan secara nasional mengenai terjadinya pelanggaran hak-hak anak.
Apa yang terjadi baik di Indonesia maupun di Belanda, membuat saya semakin yakin bahwa kekerasan terhadap anak tidak mengenal batas ruang dan waktu, tidak mengenal kondisi kesejahteraan suatu bangsa. Dinegara berkembang atau negara maju sekalipun dan dimanapun mereka berada kekerasan fisik, seksual dan psikologis selalu dan senantiasa mengintai kehidupan anak-anak.
Menjauhkan Perilaku Kekerasan Dalam Mendidik Anak
Menghindarkan diri dari berperilaku kasar dan menggunakan kekerasan dalam mendidik anak merupakan sebuah kewajiban yang harus kita lakukan. Jika ada orang tua yang berperilaku agresif dan kasar terhadap anak-anaknya, jika ada orang dewasa atau seorang pendidik memberikan label nakal dan memberikan hukuman badan yang destruktif terhadap anak-anak, dikarenakan pola pikir (mindset) yang keliru dalam memandang anak. Anak dalam pandangan mereka adalah objek. Sebagai objek tentunya anak akan diperlakukan sesuai dengan kehendak dan harus menjadi apa yang diinginkan/digariskan oleh orang tua dan orang-orang dewasa yang ada disekitarnya.
Karena itu jika pada suatu waktu kita mendapati anak-anak kita dengan mudahnya berbohong, atau berbuat sesuatu yang menurut kita merupakan sebuah kenakalan. Jangan sekali-sekali mendamprat, memukul atau menghukum mereka, lakukankan instropeksi dan refleksi, jangan-jangan seharusnya “tamparan” dan “dampratan” itu lebih tepat diberikan pada diri kita sendiri sebagai orang tua, sebagai pendidik, sebagai orang dewasa. Berpikirlah terlebih dahulu bahwa seseorang bisa menjadi baik atau buruk pasti karena suatu sebab. Bisa jadi perilaku nakal itu mereka lakukan disebabkan kita sendiri sebagai orang tua terlalu sering mencekoki mereka dengan contoh-contoh perilaku dan perbuatan yang buruk pula. Jangan pernah lupa bahwa perilaku anak-anak kita itu merupakan cermin daripada perilaku kita sendiri, sebagai orang tua sebagai orang dewasa yang ada disamping mereka.
Satu hal yang perlu kita ingat, sewaktu kita mempunyai anak secara otomatis kita menjadi orang tua, padahal kita tidak pernah atau belum mempunyai pengalaman sebagai orang tua. Namun kita semua memiliki pengalaman dan pasti pernah melewati fase menjadi seorang anak. Karena kita semua yang saat ini menjadi orang tua dan yang saat ini menjadi manusia dewasa memiliki pengalaman sebagai seorang anak, mengapa kita tidak belajar dari anak-anak kita dan masa anak-anak kita sendiri. Dari situ cobalah kita flashback, mengingat masa kecil kita, masa anak-anak kita. Ingatlah bagaimana waktu itu kita ingin diperlakukan oleh orang-orang yang lebih tua/dewasa dari kita, apa keinginan-keinginan kita, apa kebutuhan-kebutuhan kita,ingatlah pengharapan dan pengakuan seperti apa yang ingin kita dapatkan dari orang tua dan orang-orang dewasa yang ada di dekat kita waktu itu. Perlakukanlah anak-anak itu sebagaimana kita ingin diperlakukan seperti pada masa anak-anak yang sudah pernah kita lampaui dulu. Jika kita bisa merubah cara pandang seperti itu, maka saya yakin perilaku kekerasan dalam mendidik anak dapat dihindarkan.
Keluarga Sebagai Agen Peubah
Hubungan termanis dan sekaligus paling sulit untuk dibina antara orang tua dan anak adalah hubungan persahabatan dengan anak. Persahabatan dengan anak hanya bisa terbina apabila sejak awal orang tua telah rela menjadikan anaknya sebagai subyek yang berarti menjadikan anak sebagai pihak yang langsung diajak berdialog, berkomunikasi dan berpartisipasi, bukan sebagai outsider yang menjadi bahan untuk dipersalahkan, disanjung, digunjingkan ataupun didialogkan.
Dengan menggunakan konsep menjadikan anak sebagai subyek dan tidak menggunakan kekerasan, apakah itu berarti dalam mendidik anak menjadi bebas nilai, bebas hokum dan tanggung jawab? Karena kita tidak bisa lagi menjewer anak kita yang bandel, kita tidak bisa lagi memukul mereka pada saat mereka acuh dan membangkang. Tentu saja jawabannya tidak!!
Dengan menjadikan anak sebagai subyek, maka sebelum anak kita melakukan kesalahan atau berbuat sesuatu yang menurut orang dewasa adalah suatu kenakalan, sang anak sudah terlebih dahulu diajak berdialog dan berkomunikasi menyampaikan apa yang boleh dan tidak boleh, menyepakati bersama tanggung jawab yang harus dilakukan apabila kesepakatan itu dilanggar, konsisten dalam menerapkan setiap kesepakatan. Disamping itu, contoh atau keteladanan juga turut andil dalam keberhasilan menggunakan konsep mendidik anak sebagai subyek dan mendidik tanpa kekerasan ini. Karena dimanapun berada seorang anak adalah makhluk peniru (imitasi) terbesar didunia.
Salah satu kesalahan terbesar kita selama ini, sehingga budaya menggunakan kekerasan dalam mendidik anak senantiasa langgeng adanya, dikarenakan anak-anak kita dan mungkin kita sendiri juga telah keliru memahami hokum dan tanggung jawab. Kita memahami hokum dan tanggung jawab berupa cubitan kecil dari sang ibu, pukulan keras di pantat oleh sang ayah, atau omelan dan caci maki yang pedas dari anggota keluarga lainnya. Dan apabila kenakalan atau kesalahan itu dilakukan disekolah maka hokum dan tanggung jawab yang harus dijalani adalah pukulan dengan ujung penggaris kayu yang panjang, berdiri dan dipermalukan didepan kelas. Pada intinya hokum dan tanggung jawab dipahami sebagai sanksi. Sanksi yang dilakukan dengan paksaan dan ancaman, sedang penegak hukumnya mutlak diperankan oleh orang tua atau kita para orang dewasa. Bagaimanapun nuansa hokum memang tetap perlu diperkenalkan kepada anak sedini mungkin. Namun bukan diwujudkan dalam bentuk sambitan penggaris dan acungan pisau dapur karena semua itu bisa kita simpan rapat didalam lemari.
Saya yakin anak-anak yang berasal dan tumbuh dari lingkungan keluarga yang anti terhadap perlakuan abusive, dan terbiasa dengan lingkungan yang demokratis dan santun,dapat menularkan nilai-nilai yang telah tertanam dalam dirinya sejak kecil itu kepada lingkungan terdekatnya dan kemudian merembes dalam unit dan system masyarakat yang lebih besar lagi.
Tak ada kata terlambat, didiklah sedari dini anak-anak kita dengan membawa nilai-nilai anti kekerasan. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat diharapkan mampu menjadi pembawa pesan anti kekerasan dan nilai demokratis yang penuh kesantunan, bukan sebaliknya, justru menjadi agen pencentak generasi-generasi yang siap untuk tumbuh dan melanjutkan nilai-nilai kekerasan di muka bumi ini.
Saya membayangkan betapa harmonisnya kehidupan anak-anak generasi mendatang, hidup tanpa bayangan dan intaian kekerasan, jika setiap keluarga bisa menerapkan hal tersebut. Persis seperti “pemandangan” interaksi orang tua dan anak yang berjalan bagai sepasang sahabat yang sering saya nikmati kala di Belanda beberapa tahun yang lalu.

Selamat Memperingati Hari Anak Indonesia 2009!!!

Comments