Artikel ini dimuat di Koran Tempo Sabtu 23 Januari 2010
http://koran.tempo.co/konten/2010/01/23/188693/Gebrakan-Satuan-Tugas-Mafia-Hukum
GEBRAKAN SATUAN TUGAS MAFIA HUKUM
Amira Paripurna SH,LLM
Hasil sidak Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, kembali mencoreng wajah institusi penegakan hukum di Indonesia, yaitu dengan ditemukannya 5 tahanan yang mendapat perlakuan istimewa, dengan menempati ruang tahanan yang dilengkapi fasilitas kamar dan pelayanan yang berlebih, sangat lengkap dan nyaman. 5 tahanan tersebut adalah Ayin (kasus suap terhadap jaksa Urip), Ines (kasus korupsi),Eri Fuad (kasus korupsi), Diwantara (kasus korupsi) dan Aling ( kasus narkoba).
Lagi-lagi nurani keadilan masyarakat terusik sekaligus menyebabkan citra negative terhadap buruknya lembaga penegak hukum semakin menguat. Temuan ini juga semakin menguatkan keyakinan masyarakat bahwa berjalannya penegakan hukum di Indonesia hanyalah proses “abal-abal” semata, segalanya bisa dibeli dan diatur menurut kuasa siapa saja yang memiliki modal dan kekayaan.
Meski aksi “obok-obok” Satgas ini, mendapatkan acungan jempol dari masyarakat karena dianggap sebagai langkah yang positif untuk membongkar praktik mafia hukum di Indonesia, namun disisi lain adapula kelompok masyarakat yang meragukan langkah awal Satgas ini, karena dianggap kurang menyentuh substansi dari praktik mafia hukum itu sendiri. Tak heran jika kemudian timbullah pertanyaan-pertanyaan mengapa Institusi Rutan dan Lapas menjadi sasaran tembak pertama dari Satgas Pemberantasan Mafia Peradilan dalam menjalankan tugasnya? dan apa signifikansinya hasil sidak Satgas ini terhadap upaya pemberantasan mafia hukum?
Praktik Suap, Korupsi, Perlakuan Diskriminatif dan Kondisi Buruk LAPAS
Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana (sanksi/hukuman) yang terdapat didalam sistem hukum pidana di Indonesia. Pidana penjara ini telah menjadi satu jenis sanksi yang paling sering digunakan oleh hakim pemutus perkara pidana dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang telah terbukti melakukan kejahatan (terpidana). Berawal dari penjatuhan pidana penjara inilah seseorang akan mulai berhubungan dengan institusi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Karena dengan penjatuhan pidana penjara berarti kebebasan dan kemerdekaan bergerak seorang terpidana dibatasi dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan vonis hakim. Dan hukuman itu wajib dijalani dengan tinggal dan berada didalam LAPAS.
Sistem pemasyarakatan yang dianut didalam LAPAS merupakan perubahan dari sistem pemenjaraan yang dianut dimasa kolonial. Berbeda dengan pola dan sistem pemenjaraan di masa kolonial yang ditujukan semata-mata sebagai tempat menghukum untuk membuat jera dan menanamkan rasa takut masyarakat agar tidak menentang pemerintah kolonial Belanda. Maka, untuk sistem pemasyarakatan saat ini memberikan kesempatan bagi narapidana (NAPI) untuk melakukan instropeksi diri, mengembangkan diri sehingga tidak merasa tertekan dan terbuang. Meskipun konsep dan sistem yang dianut telah berubah namun secara riil kondisi NAPI kurang mendapatkan perlakuan manusiawi, karena sangat minimnya fasilitas yang tersedia didalam LAPAS.
Hal ini terjadi karena sebagian besar LAPAS telah mengalami over kapasitas (diseluruh Indonesia terdapat kelebihan sekitar 47,88%) dan diperparah lagi dengan kecilnya alokasi anggaran untuk pemasyarakatan. Tak heran jika kemudian muncul kisah-kisah memilukan dari para mantan NAPI mengenai derita kehidupan di LAPAS. Mulai dari ruang huni NAPI yang penuh sesak, sanitasi yang buruk, pelayanan kesehatan yang minim, tidak tersedianya ruang rekreasi/hiburan (TV), hingga menĂº makan yang tidak layak.
Masalah-masalah inilah yang kemudian membuka celah munculnya praktik-praktik korupsi, suap dan perlakuan diskriminatif didalam LAPAS. Seorang NAPI dapat saja “mendekati”petugas/pegawai LAPAS agar “menyulap” sel tahanannya dengan berbagai perbaikan maupun tambahan fasilitas didalamnya. Dengan memberikan sejumlah uang sebagai uang suap agar permintaannya terpenuhi dan uang pembayaran pengadaan barang-barang atau fasilitas tambahan sesuai yang mereka inginkan, maka NAPI yang bersangkutan pun dapat membangun “istana” didalam penjara. Tentu saja perlakuan istimewa ini hanya dapat dilakukan dan diberikan kepada Napi dari golongan kaya dan mampu serta memiliki akses terhadap pegawai dan petinggi-petinggi LAPAS.
Adapun celah suap dan korupsi lainnya dapat terjadi pada saat LAPAS menjalankan fungsinya memberikan pelayanan publik yaitu berupa layanan permohonan pengajuan bebas bersyarat (BB), cuti menjelang bebas (CMB), dan cuti bersyarat (CB). Informasi terkait dengan prosedur pelaksanaan ini sangat rendah di LAPAS, sehingga akan sangat rentan dan mudah sekali bagi petugas di LAPAS “mempermainkan” syarat-syarat untuk diloloskannya permohonan tersebut. Dengan menggantungkan pada seberapa besar kemampuan NAPI membayar kepada petugas dan petinggi LAPAS sehingga permohonannya dapat dengan mudah dikabulkan. Celah berikutnya yang dengan mudah dipermainkan adalah pemberian remisi kepada NAPI. Remisi sebagai hak yang diberikan kepada NAPI untuk mendapat pengurangan atau pembebasan dalam menjalani masa pidana dapat menjadi obyek “jual beli”, jika pemberian remisi ini tidak diawasi dan mendapat kontrol yang ketat.
Pemberantasan Mafia Hukum
Sesungguhnya sebutan hotel prodeo bagi LAPAS menunjukkan bahwa pelayanan di Lembaga Pemasyarakatan tidaklah ditanggung biaya apapun. Sehingga jika terdapat pungutan-pungutan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan terhadap NAPI, keluarga NAPI maupun pihak yang mewakili NAPI maka hal tersebut merupakan pungli yang bisa dikategorikan sebagai bentuk korupsi. Begitu pula jika pemberian-pemberian dari NAPI maupun keluarga NAPI agar memperoleh keistimewaan maupun pelayanan tertentu yang bersifat khusus maka bisa dianggap suap.
Bila pengertian mafia hukum dinisbahkan kepada pelaku yang memindahkan uang dari mereka yang memiliki ‘kepentingan’ kepada petugas dan pejabat hukum, sehingga terjadi praktik penyuapan dan korupsi. Maka dapat dikatakan bahwa secara nyata didalam LAPAS telah bergentayangan pelaku-pelaku mafia hukum. Sehingga bukanlah hal yang harus disambut dengan pesimistis apabila Satgas Pemberantasan Mafia Hukum melakukan gebrakan pertamanya dengan melakukan sidak tersebut. Karena keberadaan LAPAS selama ini nyaris tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan juga kontrol dari publik.
Perlu diingat bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia, terdiri dari 4 komponen yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Adapun sistem peradilan pidana dijalankan dengan beberapa tujuan yaitu (1) untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas karena ditegakkannya keadilan serta (3) menjadikan pelaku kejahatan menjadi sadar dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Pada tujuan terakhir itulah, LAPAS memegang peranan untuk mewujudkannya. Namun apabila kondisi riil yang ada malah menunjukkan bahwa LAPAS juga merupakan arena “bermain” dari mafia hukum, maka dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana kita telah gagal melakukan perlindungan terhadap masyarakat dan gagal mewujudkan keadilan dimasyarakat. Karena sebagai suatu system, komponen-komponen tersebut saling terkait dan melakukan kerjasama yang terintegrasi. Setiap masalah dalam salah satu komponen, akan menimbulkan dampak pada komponen-komponen yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu komponen akan menimbulkan dampak kembali pada komponen lainnya.
Oleh sebab itu tepatlah kiranya, apabila pemberantasan mafia hukum juga di fokuskan kepada komponen terakhir dari sistem peradilan pidana kita. Karena selama ini, semenjak terbongkarnya rekaman skandal pembicaraan Anggodo dengan beberapa pejabat hukum, telah menyebabkan ketiga komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian,Kejaksaan dan Pengadilan) mendapatkan kecaman sekaligus sorotan besar-besaran agar dilakukan “pembersihan” markus (makelar kasus) di ketiga institusi tersebut.
Namun, jangan sampai hal ini membuat kita menjadi lengah dan lupa dengan hanya memfokuskan pemberantasan mafia hukum di wilayah 3 institusi hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan)itu saja. Sehingga pada saat aktor mafia hukum kurang leluasa atau tak bisa lagi “bermain” diketiga institusi tersebut, maka mereka dengan mudahnya menjadi “kutu loncat” berpindah sasaran institusi dengan memainkan perannya yaitu memanfaatkan celah-celah suap dan korupsi di dalam LAPAS.
http://koran.tempo.co/konten/2010/01/23/188693/Gebrakan-Satuan-Tugas-Mafia-Hukum
GEBRAKAN SATUAN TUGAS MAFIA HUKUM
Amira Paripurna SH,LLM
Hasil sidak Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, kembali mencoreng wajah institusi penegakan hukum di Indonesia, yaitu dengan ditemukannya 5 tahanan yang mendapat perlakuan istimewa, dengan menempati ruang tahanan yang dilengkapi fasilitas kamar dan pelayanan yang berlebih, sangat lengkap dan nyaman. 5 tahanan tersebut adalah Ayin (kasus suap terhadap jaksa Urip), Ines (kasus korupsi),Eri Fuad (kasus korupsi), Diwantara (kasus korupsi) dan Aling ( kasus narkoba).
Lagi-lagi nurani keadilan masyarakat terusik sekaligus menyebabkan citra negative terhadap buruknya lembaga penegak hukum semakin menguat. Temuan ini juga semakin menguatkan keyakinan masyarakat bahwa berjalannya penegakan hukum di Indonesia hanyalah proses “abal-abal” semata, segalanya bisa dibeli dan diatur menurut kuasa siapa saja yang memiliki modal dan kekayaan.
Meski aksi “obok-obok” Satgas ini, mendapatkan acungan jempol dari masyarakat karena dianggap sebagai langkah yang positif untuk membongkar praktik mafia hukum di Indonesia, namun disisi lain adapula kelompok masyarakat yang meragukan langkah awal Satgas ini, karena dianggap kurang menyentuh substansi dari praktik mafia hukum itu sendiri. Tak heran jika kemudian timbullah pertanyaan-pertanyaan mengapa Institusi Rutan dan Lapas menjadi sasaran tembak pertama dari Satgas Pemberantasan Mafia Peradilan dalam menjalankan tugasnya? dan apa signifikansinya hasil sidak Satgas ini terhadap upaya pemberantasan mafia hukum?
Praktik Suap, Korupsi, Perlakuan Diskriminatif dan Kondisi Buruk LAPAS
Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana (sanksi/hukuman) yang terdapat didalam sistem hukum pidana di Indonesia. Pidana penjara ini telah menjadi satu jenis sanksi yang paling sering digunakan oleh hakim pemutus perkara pidana dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang telah terbukti melakukan kejahatan (terpidana). Berawal dari penjatuhan pidana penjara inilah seseorang akan mulai berhubungan dengan institusi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Karena dengan penjatuhan pidana penjara berarti kebebasan dan kemerdekaan bergerak seorang terpidana dibatasi dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan vonis hakim. Dan hukuman itu wajib dijalani dengan tinggal dan berada didalam LAPAS.
Sistem pemasyarakatan yang dianut didalam LAPAS merupakan perubahan dari sistem pemenjaraan yang dianut dimasa kolonial. Berbeda dengan pola dan sistem pemenjaraan di masa kolonial yang ditujukan semata-mata sebagai tempat menghukum untuk membuat jera dan menanamkan rasa takut masyarakat agar tidak menentang pemerintah kolonial Belanda. Maka, untuk sistem pemasyarakatan saat ini memberikan kesempatan bagi narapidana (NAPI) untuk melakukan instropeksi diri, mengembangkan diri sehingga tidak merasa tertekan dan terbuang. Meskipun konsep dan sistem yang dianut telah berubah namun secara riil kondisi NAPI kurang mendapatkan perlakuan manusiawi, karena sangat minimnya fasilitas yang tersedia didalam LAPAS.
Hal ini terjadi karena sebagian besar LAPAS telah mengalami over kapasitas (diseluruh Indonesia terdapat kelebihan sekitar 47,88%) dan diperparah lagi dengan kecilnya alokasi anggaran untuk pemasyarakatan. Tak heran jika kemudian muncul kisah-kisah memilukan dari para mantan NAPI mengenai derita kehidupan di LAPAS. Mulai dari ruang huni NAPI yang penuh sesak, sanitasi yang buruk, pelayanan kesehatan yang minim, tidak tersedianya ruang rekreasi/hiburan (TV), hingga menĂº makan yang tidak layak.
Masalah-masalah inilah yang kemudian membuka celah munculnya praktik-praktik korupsi, suap dan perlakuan diskriminatif didalam LAPAS. Seorang NAPI dapat saja “mendekati”petugas/pegawai LAPAS agar “menyulap” sel tahanannya dengan berbagai perbaikan maupun tambahan fasilitas didalamnya. Dengan memberikan sejumlah uang sebagai uang suap agar permintaannya terpenuhi dan uang pembayaran pengadaan barang-barang atau fasilitas tambahan sesuai yang mereka inginkan, maka NAPI yang bersangkutan pun dapat membangun “istana” didalam penjara. Tentu saja perlakuan istimewa ini hanya dapat dilakukan dan diberikan kepada Napi dari golongan kaya dan mampu serta memiliki akses terhadap pegawai dan petinggi-petinggi LAPAS.
Adapun celah suap dan korupsi lainnya dapat terjadi pada saat LAPAS menjalankan fungsinya memberikan pelayanan publik yaitu berupa layanan permohonan pengajuan bebas bersyarat (BB), cuti menjelang bebas (CMB), dan cuti bersyarat (CB). Informasi terkait dengan prosedur pelaksanaan ini sangat rendah di LAPAS, sehingga akan sangat rentan dan mudah sekali bagi petugas di LAPAS “mempermainkan” syarat-syarat untuk diloloskannya permohonan tersebut. Dengan menggantungkan pada seberapa besar kemampuan NAPI membayar kepada petugas dan petinggi LAPAS sehingga permohonannya dapat dengan mudah dikabulkan. Celah berikutnya yang dengan mudah dipermainkan adalah pemberian remisi kepada NAPI. Remisi sebagai hak yang diberikan kepada NAPI untuk mendapat pengurangan atau pembebasan dalam menjalani masa pidana dapat menjadi obyek “jual beli”, jika pemberian remisi ini tidak diawasi dan mendapat kontrol yang ketat.
Pemberantasan Mafia Hukum
Sesungguhnya sebutan hotel prodeo bagi LAPAS menunjukkan bahwa pelayanan di Lembaga Pemasyarakatan tidaklah ditanggung biaya apapun. Sehingga jika terdapat pungutan-pungutan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan terhadap NAPI, keluarga NAPI maupun pihak yang mewakili NAPI maka hal tersebut merupakan pungli yang bisa dikategorikan sebagai bentuk korupsi. Begitu pula jika pemberian-pemberian dari NAPI maupun keluarga NAPI agar memperoleh keistimewaan maupun pelayanan tertentu yang bersifat khusus maka bisa dianggap suap.
Bila pengertian mafia hukum dinisbahkan kepada pelaku yang memindahkan uang dari mereka yang memiliki ‘kepentingan’ kepada petugas dan pejabat hukum, sehingga terjadi praktik penyuapan dan korupsi. Maka dapat dikatakan bahwa secara nyata didalam LAPAS telah bergentayangan pelaku-pelaku mafia hukum. Sehingga bukanlah hal yang harus disambut dengan pesimistis apabila Satgas Pemberantasan Mafia Hukum melakukan gebrakan pertamanya dengan melakukan sidak tersebut. Karena keberadaan LAPAS selama ini nyaris tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan juga kontrol dari publik.
Perlu diingat bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia, terdiri dari 4 komponen yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Adapun sistem peradilan pidana dijalankan dengan beberapa tujuan yaitu (1) untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas karena ditegakkannya keadilan serta (3) menjadikan pelaku kejahatan menjadi sadar dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Pada tujuan terakhir itulah, LAPAS memegang peranan untuk mewujudkannya. Namun apabila kondisi riil yang ada malah menunjukkan bahwa LAPAS juga merupakan arena “bermain” dari mafia hukum, maka dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana kita telah gagal melakukan perlindungan terhadap masyarakat dan gagal mewujudkan keadilan dimasyarakat. Karena sebagai suatu system, komponen-komponen tersebut saling terkait dan melakukan kerjasama yang terintegrasi. Setiap masalah dalam salah satu komponen, akan menimbulkan dampak pada komponen-komponen yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu komponen akan menimbulkan dampak kembali pada komponen lainnya.
Oleh sebab itu tepatlah kiranya, apabila pemberantasan mafia hukum juga di fokuskan kepada komponen terakhir dari sistem peradilan pidana kita. Karena selama ini, semenjak terbongkarnya rekaman skandal pembicaraan Anggodo dengan beberapa pejabat hukum, telah menyebabkan ketiga komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian,Kejaksaan dan Pengadilan) mendapatkan kecaman sekaligus sorotan besar-besaran agar dilakukan “pembersihan” markus (makelar kasus) di ketiga institusi tersebut.
Namun, jangan sampai hal ini membuat kita menjadi lengah dan lupa dengan hanya memfokuskan pemberantasan mafia hukum di wilayah 3 institusi hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan)itu saja. Sehingga pada saat aktor mafia hukum kurang leluasa atau tak bisa lagi “bermain” diketiga institusi tersebut, maka mereka dengan mudahnya menjadi “kutu loncat” berpindah sasaran institusi dengan memainkan perannya yaitu memanfaatkan celah-celah suap dan korupsi di dalam LAPAS.
Comments
Post a Comment