Antara SBY,RMS dan Pengadilan Belanda
Amira Paripurna S.H.LL.M
Pengadilan di Belanda akhirnya memutuskan menolak permintaan RMS yang menuntut agar Presiden SBY ditangkap saat berada di Belanda. Putusan ini semakin menguatkan pendapat sejumlah kalangan yang menilai bahwa pembatalan lawatan SBY ke negeri kincir angin akibat adanya gugatan presiden RMS John Wattilete itu terlalu berlebihan. Benarkah SBY terlalu ‘lebay’ dalam merespon gugatan RMS itu? Jika benar, pembatalan itu semata alasan psikologis dan “takut” tentu patut kita tilik kembali bagaimana sesungguhnya hukum di Belanda mengatur mengenai hal ini?mungkinkah SBY dapat ditangkap berdasarkan alasan-alasan yang diajukan oleh RMS yaitu dugaan pelanggaran HAM di Maluku dan penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88 kepada simpatisan RMS?
Sejak tahun 2003 Belanda memiliki International Crimes Act (ICA/UU Kejahatan Internasional). Melalui UU ini pengadilan di Belanda mengakui dan menerapkan adanya yurisdiksi universal (universal jurisdiction), khusus untuk kejahatan-kejahatan internasional yang meliputi genosida,torture, kejahatan perang (war crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Dengan diterapkannya yurisdiksi universal ini berarti bahwa pelaku kejahatan internasional dapat diadili dibawah hukum Belanda tanpa memandang kewarganegaraan si pelaku ataupun tempat terjadinya kejahatan tersebut. Salah satu contoh praktik penerapan yurisdiksi internasional yang telah dilakukan oleh Belanda adalah dijatuhkannya hukuman penjara masing-masing 2 (dua) dan 9 (sembilan) tahun terhadap 2 (dua) orang pelaku dari Afganistan pada tahun 2004 karena mereka terlibat dalam kejahatan perang dan torture di Afganistan.
Penerapan universal yurisdiksi dalam kajian hukum internasional sendiri memang masih kerapkali diperdebatkan. Namun sejumlah negara di Eropa seperti Belanda, UK, Norwegia, Perancis, Belgia, Jerman, Denmark, Spanyol telah menerapkan yurisdiksi universal didalam UU nasionalnya. Berdasarkan International Crimes Act (ICA) kasus akan mulai diproses jika ada kehadiran si tersangka pelaku kejahatan internasional di Wilayah Belanda. Namun pemberlakuan universal yurisdiksi ini tidak dapat serta merta dilakukan karena ada sejumlah ketentuan-ketentuan pembatasan seperti subsidaritas (subsidiarity) dan imunitas yang diberikan kepada kepala negara dari negara asing sebagaimana ketentuan dalam hukum internasional.
Jika dikaitkan dengan tuntutan RMS terhadap SBY atas sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di Maluku dan sejumlah tindakan Densus 88 dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur dan masuk kategori kejahatan internasional didalamnya? ini yang memang perlu dikaji lagi. Namun jika melihat kembali pembatasan yang ada dalam ICA mengenai pembatasan penerapan universal yurisdiksi yaitu subsidaritas dan juga hak imunitas yang dimiliki oleh kepala negara maka pengadilan di Belanda tidak dapat memutuskan untuk menangkap dan menahan SBY.
Selanjutnya, bila pembatalan lawatan itu merupakan salah satu langkah protes Indonesia terhadap Belanda, karena selama ini telah “menampung” dan memberi ruang gerak terhadap RMS. Bukankah itu sebuah langkah protes yang “basi” karena posisi pemerintah Belanda telah tidak mengakui keberadaan RMS. Tragedi Wasseenaar di tahun 1978 dimana sejumlah anggota pendukung RMS melakukan serangan ke kantor-kantor dan simbol pemerintahan Belanda, telah membuat pemerintah semakin “anti”terhadap RMS. Alasan penyerangan oleh kelompok RMS terhadap pemerintah Belanda ini pun disebabkan karena mereka kekecewaan terhadap pemerintah Belanda yang telah mengambil sikap untuk menarik dukungannya terhadap RMS.
Karenanya, jika saja kondisi dan ketentuan-ketentuan hukum Belanda dipahami secara mendalam tentu saja tak sepatutnya SBY “tersengat”dengan tuntutan RMS di pengadilan Belanda hingga mengambil keputusan membatalkan lawatannya ke Belanda,
Amira Paripurna S.H.LL.M
Pengadilan di Belanda akhirnya memutuskan menolak permintaan RMS yang menuntut agar Presiden SBY ditangkap saat berada di Belanda. Putusan ini semakin menguatkan pendapat sejumlah kalangan yang menilai bahwa pembatalan lawatan SBY ke negeri kincir angin akibat adanya gugatan presiden RMS John Wattilete itu terlalu berlebihan. Benarkah SBY terlalu ‘lebay’ dalam merespon gugatan RMS itu? Jika benar, pembatalan itu semata alasan psikologis dan “takut” tentu patut kita tilik kembali bagaimana sesungguhnya hukum di Belanda mengatur mengenai hal ini?mungkinkah SBY dapat ditangkap berdasarkan alasan-alasan yang diajukan oleh RMS yaitu dugaan pelanggaran HAM di Maluku dan penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88 kepada simpatisan RMS?
Sejak tahun 2003 Belanda memiliki International Crimes Act (ICA/UU Kejahatan Internasional). Melalui UU ini pengadilan di Belanda mengakui dan menerapkan adanya yurisdiksi universal (universal jurisdiction), khusus untuk kejahatan-kejahatan internasional yang meliputi genosida,torture, kejahatan perang (war crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Dengan diterapkannya yurisdiksi universal ini berarti bahwa pelaku kejahatan internasional dapat diadili dibawah hukum Belanda tanpa memandang kewarganegaraan si pelaku ataupun tempat terjadinya kejahatan tersebut. Salah satu contoh praktik penerapan yurisdiksi internasional yang telah dilakukan oleh Belanda adalah dijatuhkannya hukuman penjara masing-masing 2 (dua) dan 9 (sembilan) tahun terhadap 2 (dua) orang pelaku dari Afganistan pada tahun 2004 karena mereka terlibat dalam kejahatan perang dan torture di Afganistan.
Penerapan universal yurisdiksi dalam kajian hukum internasional sendiri memang masih kerapkali diperdebatkan. Namun sejumlah negara di Eropa seperti Belanda, UK, Norwegia, Perancis, Belgia, Jerman, Denmark, Spanyol telah menerapkan yurisdiksi universal didalam UU nasionalnya. Berdasarkan International Crimes Act (ICA) kasus akan mulai diproses jika ada kehadiran si tersangka pelaku kejahatan internasional di Wilayah Belanda. Namun pemberlakuan universal yurisdiksi ini tidak dapat serta merta dilakukan karena ada sejumlah ketentuan-ketentuan pembatasan seperti subsidaritas (subsidiarity) dan imunitas yang diberikan kepada kepala negara dari negara asing sebagaimana ketentuan dalam hukum internasional.
Jika dikaitkan dengan tuntutan RMS terhadap SBY atas sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di Maluku dan sejumlah tindakan Densus 88 dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur dan masuk kategori kejahatan internasional didalamnya? ini yang memang perlu dikaji lagi. Namun jika melihat kembali pembatasan yang ada dalam ICA mengenai pembatasan penerapan universal yurisdiksi yaitu subsidaritas dan juga hak imunitas yang dimiliki oleh kepala negara maka pengadilan di Belanda tidak dapat memutuskan untuk menangkap dan menahan SBY.
Selanjutnya, bila pembatalan lawatan itu merupakan salah satu langkah protes Indonesia terhadap Belanda, karena selama ini telah “menampung” dan memberi ruang gerak terhadap RMS. Bukankah itu sebuah langkah protes yang “basi” karena posisi pemerintah Belanda telah tidak mengakui keberadaan RMS. Tragedi Wasseenaar di tahun 1978 dimana sejumlah anggota pendukung RMS melakukan serangan ke kantor-kantor dan simbol pemerintahan Belanda, telah membuat pemerintah semakin “anti”terhadap RMS. Alasan penyerangan oleh kelompok RMS terhadap pemerintah Belanda ini pun disebabkan karena mereka kekecewaan terhadap pemerintah Belanda yang telah mengambil sikap untuk menarik dukungannya terhadap RMS.
Karenanya, jika saja kondisi dan ketentuan-ketentuan hukum Belanda dipahami secara mendalam tentu saja tak sepatutnya SBY “tersengat”dengan tuntutan RMS di pengadilan Belanda hingga mengambil keputusan membatalkan lawatannya ke Belanda,
Comments
Post a Comment