by Amira Paripurna
Surabaya
selamat dari aksi teror bom bunuh diri yang direncanakan akan diledakkan pada
22 Juni nanti. Dalam rencananya, teror bom bunuh diri tersebut akan meledakkan gerai
Starbuck di salah satu mall besar di Surabaya—Galaxy Mall serta
pos polisi di kawasan Mulyorejo. Plot serangan bom bunuh diri yang direncakan
akan serupa dengan teror ‘Bom Thamrin’ itu berhasil diungkap dan digagalkan
tanpa adanya korban jiwa, disamping itu juga ditangkap tiga terduga teroris yang
terkait dengan organisasi radikal di Timur Tengah (ISIS) (Jawa Pos, 9 Juni
2016). Terlepas dari sejumlah
praktik-praktik kekerasan dan excessive use of force yang pernah
dan kerap dilakukan oleh Densus 88 dalam proses penindakan kasus-kasus
terorisme, keberhasilan Densus 88 kali ini untuk mencegah dan menggagalkan aksi
teror bom bunuh diri ini sudah sepatutnya diapresiasi.
Keberhasilan
ini tentu tak luput dari kerja-kerja intelijen yang dilakukan oleh tim Densus
88. Karena berdasarkan hasil penelitian disertasi yang dilakukan oleh penulis
saat ini, ditemukan bahwa paska Bom Bali, law enforcement atau criminal Intelligence
memang telah menjadi tulang punggung yang utama dalam strategi pencegahan
kejahatan terorisme (counter-terorism policing) di Indonesia. Namun, ketika menyinggung masalah intelijen
kebanyakan publik akan merasa apriori dan curiga. Memang tak bisa disalahkan
jika publik berpandangan demikian, karena praktik-praktik intelijen dimasa lalu—terutama
intelijen militer dan intelijen negara, telah disalahgunakan untuk melanggengkan
kepentingan politik penguasa.
Tak
banyak diketahui atau mungkin tak disadari oleh publik bahwa intelijen telah
banyak berperan besar dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan terorganisir dan
bersifat lintas-negara (transnational organized crime/TOC), serta
kejahatan terorisme. Namun, hingga saat ini intelijen memang telah banyak
disalahpahami, seolah intelejen identik dengan operasi dan kegiatan rekayasa
yang bermakna negatif semata. Tetapi, benarkah demikian adanya? Tulisan ini
hendak memberikan ulasan singkat mengenai penggunaan law enforcement atau
criminal intelligence dalam pencegahan kejahatan terorisme dan kejahatan
terorganisir.
Metode intelligence-led policing
Criminal Intelligence dalam arti yang sesungguhnya merupakan produk dari sebuah
proses analitik dengan menggunakan pendekatan ilmiah untuk mengevaluasi informasi
yang terkumpul dari berbagai sumber. Semua informasi ini lalu diintegrasikan
dengan informasi yang relevan sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan atau
perkiraan fenomena dan tren kejahatan, ancaman-ancaman keamanan dan kondisi yang berhubungan dengan
kriminalitas.
Produk intelijen yang terintegrasi ini memberikan arah dan landasan yang
berarti mengenai kejahatan yang kompleks yang
dilakukan oleh kelompok kejahatan yang terorganisasi dan terstruktur. Informasi
yang dikumpulkan untuk analisis intelijen bisa diperoleh melalui informan, surveillance,
operasi penyamaran, bukti-bukti dokumen, bukti forensik, penyadapan komunikasi,
atau penulusuran transaksi keuangan.
Dalam
konteks kejahatan terorisme dan kejahatan terorganisasi, keduanya memiliki
karakteristik yang hampir sama yaitu adanya struktur organisasi yang formal. Mereka
memiliki pembagian kerja, aktivitas yang terkoordinir melalui kode dan aturan
tertentu serta alokasi kerja dan tugas untuk mencapai tujuan dan sasaran
tertentu. Dengan karakter dan kerumitan semacam ini, polisi tidak dapat lagi
mengandalkan cara-cara tradisional.
Salah
satu kunci pelacakannya adalah mendeteksi komunikasi yang dilakukan antar
anggota kelompok teroris dan jaringan yang mereka miliki. Dengan mengobservasi
dan menganalisis cara, metode dan pola komunikasi yang dilakukan, polisi dapat mendeteksi
kelompok inti (core groups) serta jaringan (criminal networks)
mana yang sedang “bermain”.
Teknologi
penyadapan komunikasi biasanya menjadi salah satu alat dalam pengumpulan
informasi untuk kepentingan intelijen ini. Penggunaan intelijen menjadi sangat
dibutuhkan karena kelompok dan jaringan teroris sangat lihai dalam mengelabui
dan menutupi aktifitasnya. Strategi pencegahan kejahatan dengan mengedepankan
fungsi intelijen, serta memperkuat information sharing secara internal dan
eksternal ini dikenal dengan sebutan metode intelligence-led policing (Ratcliffe,
2008).
Dalam
konteks Densus 88, metode pengumpulan
informasi untuk kemudian dapat menghasilkan actionable intelligence didasarkan
pada kombinasi antara teknologi dan human Intelligence. Namun, dalam
praktiknya teknologi lebih diutamakan penggunannya dalam proses pengumpulan dan
analisis informasi. Teknologi yang digunakan dalam hal ini berupa communication
intelligence, electronic intelligence, signal intelligence yaitu misalnya melalui
penyadapan sinyal alat komunikasi melalui panggilan telepon, penyadapan sinyal handphone,
penyadapan isi komunikasi melalui sms. Hal ini dilakukan karena teknologi lebih
dapat diandalkan, terpercaya dan lebih mudah untuk diverifikasi. Disamping itu observasi
melalui operasi penyamaran (undercover), pengintaian, pengawasan (surveillance)
dengan mengandalkan sumber daya manusia sebagai pengumpul informasi
juga dilakukan.
Penggunaan Intelijen dalam Penegakan Hukum
Penggunaan
intelijen dalam kepolisian memang belum membudaya. Kenapa? Karena dalam
menanggulangi kejahatan, polisi masih terbiasa dengan pola-pola pendekatan
reaktif dari pada proaktif. Karena itu, sekali lagi, keberhasilan menggagalkan
bom bunuh diri di Surabaya ini patut diacungi jempol. Selain dapat meminimalisir
jatuhnya korban, kekerasan terhadap tersangka pelaku teror juga dapat dihindari.
Juga
rasa aman masyarakat dapat terjaga.
Mengingat dalam praktiknya law
enforcement intelligence telah menjadi backbone dalam counter-terrorism
policing, hal yang paling serius diperhatikan adalah proses dan metode
pengumpulan informasinya. Sebab, kadang dalam pelaksanaannya sangat berpeluang
melanggar hak-hak privasi warga negara.
Bagaimana agar penyalahgunaan
wewenang ini dapat dikontrol? Jawabannya, melalui undang-undang. Namun
sayangnya, hingga saat ini kita masih minim dengan aturan detil tentang kerja
aparat intelijen itu.
Karena itu ke depan perlu ada prosedur-prosedur
khusus terkait penggunaan intelijen dalam sistem peradilan pidana. Misalnya,
bagaimana batasan alat bukti material yang sifatnya tertutup/rahasia,
pengklasifikasian dan de-klasifikasi secret intelligence information.
Comments
Post a Comment