By Amira Paripurna
Published on Jawa Post (December 23, 2016)
Published on Jawa Post (December 23, 2016)
Tim Densus 88
berhasil menangkap tiga orang di sebuah rumah kos di Bekasi, yang diduga akan melakukan
serangan bom bunuh diri di Istana Kepresidenan (10/12). Apa yang dilakukan oleh
Tim Densus 88 ini bukan untuk pertama kalinya. Sepanjang pertengahan tahun 2016
ini sedikitnya mereka telah berhasil menggagalkan rencana pengeboman di
Surabaya (7/12) dan sejumlah rencana aksi teror bom di Bali (8/12).
Keberhasilan menangkap dan menggagalkan rencana sejumlah rencana
teror bom ini setidaknya sudah bisa menjawab tuntutan publik untuk
mengutamakan pencegahan dengan mengagalkan rencana-rencana teror bom agar tidak
berkembang secara meluas. Tim Densus 88 setidaknya juga telah menunjukkan bahwa
mereka telah memperbaiki cara kerjanya yang selama ini sering mendapat kritikan
dan kecaman keras dari publik bahwa dalam menanggulangi terorisme mereka
bergerak terlalu represif dan reaktif sehingga sangat rentan terjadi
pelanggaran HAM.
Namun dalam
kenyataannya, pada saat mereka berhasil menggagalkan sejumlah rencana-rencana
serangan teror bom, masih tetap muncul ‘suara-suara’ ketidakpuasan dan
ketidakpercayaan, bahwa tindakan kepolisian ini hanyalah sebuah rekayasa
intelijen. Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kepolisian (tim Densus 88)
seolah berada dalam posisi yang serba salah?
Proaktif Konter-Terorisme dan Intelligence
led-Policing
Penting untuk dicatat apa yang dilakukan oleh Polri
(tim Densus 88) saat ini merupakan wujud dari pengimplementasian proaktif konter-terrorisme.
Proaktif konter-terorisme dilakukan melalui teknik intrusive yang melibatkan surveillance,
semisal penyadapan komunikasi (wiretapping/eavesdropping), penyamaran,
pengintaian. Yang pada intinya dalam proaktif konter-terrorisme aparat akan
mededikasikan sumber daya dan energinya untuk mencegah rencana-rencana serangan
teror oleh para pelaku teror dan menggagalkan (thwarting and disrupting)
rencana mereka agar tidak berkembang lebih lanjut.
Dengan diimplementasikannya proaktif konter-terorisme
maka berimplikasi pada kebijakan-kebijakan yang terkait dalam tiga area yaitu intelijen,
hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Dalam area intelijen artinya akan memperluas
kerja dan jaringan surveillance, meningkatkan penggunaan profiling,
meningkatkan kewaspadaan terhadap radikalisasi yang mengarah pada kekerasan
serta semakin fokus pada pelacakan pendanaan /pengumpulan dana untuk aksi
terorisme.
Sedangkan dalam wilayah criminal justice,
maka kebijakan yang diambil adalah diterapkannya strategi pencegahan kejahatan
yang menekankan pada peningkatan penggunaan intelijen (intelligence-led
policing), penangkapan dan penahanan secara dini untuk menggagalkan rencana
aksi teror. Adapun dalam area hukum pidana, maka kebijakan yang diambil akan
semakin mewaspadai tindakan-tindakan yang bersifat menyebarkan kebencian (hate
and speech crimes), mengkriminalisasi keanggotaan didalam
organisasi-organisasi yang memberikan dukungan materi, memfasilitasi rekrutmen
dan pelatihan-pelatihan untuk melakukan kejahatan terorisme.
Keberhasilan polisi menangkap ‘calon
pengantin’ bom Bekasi dan rencana-rencana serangan bom lainnya tentu tak luput
dari kerja-kerja intelijen yang dilakukan oleh tim Densus 88, melalui strategi
proaktif dan intelligence-led policing (ILP). Sayangnya, tak banyak diketahui atau mungkin
tak disadari oleh publik bahwa ILP tak hanya berfungsi dan dipakai sebagai strategi
mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme. Padahal sebenarnya ILP telah jamak
dipakai dalam konteks yang lebih luas dan telah berperan besar dalam menanggulangi
kejahatan-kejahatan terorganisir dan bersifat lintas-negara (transnational
organized crime/TOC), misalnya kejahatan narkoba (drug crimes),
penyelundupan senjata, pencucian uang dan perdagangan orang.
Namun hingga saat ini intelijen memang telah
banyak disalahpahami, seolah intelijen identik dengan operasi dan kegiatan
rekayasa yang bermakna negatif semata. Ada beberapa faktor mengapa sebagian publik tetap ‘hidup’ dalam
atmosfer yang penuh kecurigaan. Yang pertama, adanya pengalaman buruk praktik-praktik
intelijen “hitam” dimasa lalu—terutama intelijen militer dan intelijen negara
yang telah disalahgunakan untuk melanggengkan kepentingan politik penguasa
dimasa orde baru. Kedua, perang melawan terorisme yang pada awalnya diinisiasi oleh pemerintah Amerika
sangat diidentikkan dengan perang terhadap Muslim atau anti-Muslim. Apalagi
sejarah pembentukan Densus 88 tak lepas dari bantuan Amerika dan Australia.
Dimana kedua negara tersebut oleh sejumlah pihak dianggap sebagai negara kafir
yang kebijakan-kebijakannya tidak berpihak terhadap masyarakat Muslim. Ketiga, kegamangan publik terhadap aparat
hukum yang sangat lekat dengan imej perilaku-perilaku koruptif.
Selain ketiga faktor tersebut, masih ditambah
dengan belum matang dan belum selesainya proses reformasi di sektor keamanan (security
sector reform) di Indonesia serta kelemahan dalam UU Anti Terorisme yang
tidak mengatur secara komprehensif mengenai penggunaan intelijen dalam sistem
peradilan pidana.
Penutup
Kinerja kepolisian (tim Densus 88) untuk menggagalkan sejumlah
rencana serangan bom di tanah air memang patut di apresiasi. Namun, adanya
kecurigaan sebagian masyarakat bahwa tindakan proaktif kepolisian untuk
mencegah terorisme sebagai suatu rekayasa harus benar-benar dijadikan bahan
evaluasi dan refleksi oleh kepolisian. Bahwa saat ini mereka tidak hanya dituntut
untuk bisa melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan terorisme namun ada
tantangan yang cukup besar yaitu menunjukkan profesionalitasnya dalam segala
aspek sehingga kinerjanya mendapatkan legitimasi dan kepercayaan publik.
Intelijen tetap
dibutuhkan demi perlindungan negara, asalkan tidak untuk kepentingan golongan
dan politis tertentu. Karenanya ini menjadi hal yang sangat urgen bagi
pemerintah dan legislatif untuk kembali memfokuskan pekerjaan rumah yang
tertinggal yaitu melanjutkan proses reformasi di bidang keamanan dan memperkuat
pengawasan terhadap kerja-kerja intelijen.
Sehingga profesionalitas dan akuntabilitas kerja-kerja intelijen tidak
lagi dipertanyakan dan dicurigai.
Penulis adalah Kandidat Ph.D di School of Law, University of
Washington-USA dan Staf Pengajar Hukum Pidana di Universitas Airlangga
Surabaya. Saat ini sedang menyelesaikan penulisan disertasi “The Use of
Intelligence in Indonesian Counter-terrorism Policing”
Comments
Post a Comment