Amira Paripurna S.H.,
LL.M, Ph.D
Jeffrey Reiman seorang kriminolog Amerika dalam
bukunya “ The Rich Get Richer and The Poor Get Prison”, mengkritik
dengan keras tentang berjalannya sistem peradilan di Amerika Serikat. Dalam
kritiknya disebutkan bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana di Amerika bukan
lagi untuk melawan kejahatan atau sebagai alat untuk mencapai keadilan,
melainkan sebagai alat untuk memproyeksikan dan mencitrakan bahwa sumber ancaman
bagi masyarakat adalah kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat miskin atau
masyarakat kelas bawah. Selain itu kritik yang sangat tajam juga ditujukan
terhadap sistem peradilan pidana di Amerika yang bias akan strata ekonomi dan kedudukan atau status sosial seseorang.
Bagaimana bias ekonomi itu terjadi digambarkan
melalui sejumlah data, misalnya, statistik kejahatan yang dilakukan oleh
anak-anak dan remaja dari kalangan ekonomi lemah adalah 1.5 kali lebih tinggi
dibandingkan yang dilakukan oleh anak/remaja di golongan ekonomi menengah keatas.
Namun untuk jenis kejahatan sama, penahanan yang dilakukan oleh polisi 5 kali
lebih sering dilakukan kepada anak/remaja dari golongan bawah ketimbang mereka
yang berada di level ekonomi atas. Untuk jenis
dan level kejahatan
yang sama, sistem peradilan pidana lebih cenderung untuk menyelidiki, menahan, menuntut,
menghukum serta menjatuhkan
hukuman penjara untuk waktu yang lebih lama kepada individu kelas bawah daripada individu
kelas menengah/atas atau mereka yang memiliki status
sosial yang tinggi di masyarakat.
Tak hanya di Amerika,
kritik terhadap sistem peradilan pidana sebagaimana ditulis oleh Jeffrey Reiman
ini tentu sangat relevan dengan kondisi sistem peradilan pidana di Indonesia. Ungkapan ‘hukum tajam kebawah namun tumpul keatas’ yang seringkali kita
dengar menunjukkan bahwa
sistem peradilan pidana di Indonesia sangat bias akan strata ekonomi dan status sosial. Contoh dari berjalannya bias ini bisa
dilihat dari bagaimana pelaku-pelaku kejahatan kerah putih seringkali lolos dari jerat hukum, tidak menjalani hukuman dan kalaupun
menjalani akan mendapatkan segenap keistimewaan, permakluman dan bahkan tak jarang mendapatkan impunitas.
Sementara
itu pelaku kejahatan dari golongan miskin tak bisa berbuat
banyak selain pasrah dengan “keadilan” yang akan diterimanya. Makanya, tak mengejutkan jika pada akhirnya kita
mendapati bahwa mayoritas orang-orang yang berdiam di balik jeruji teralis besi
penjara adalah mereka si miskin dan yang tak memiliki status sosial apapun
di masyarakat.
Sejauh ini sistem
peradilan pidana lebih banyak berfokus kepada kejahatan jalanan (street
crimes) dan “remeh-temeh” yang kebanyakan dilakukan oleh kelompok
masyarakat bawah dengan status sosial rendah. Sementara itu untuk white
collar crimes yang memang telah diakui sebagai kejahatan serius namun
penanganannya masih dilakukan dengan penuh “kelemah-lembutan”. Hal ini tentu
terkait dengan mitos-mitos yang dipercayai seputar white collar crimes,
bahwa jenis kejahatan ini tidaklah terlalu membahayakan kehidupan maupun tata
nilai di masyarakat karena tidak menimbulkan cidera fisik maupun kematian
terhadap si korban/masyarakat secara langsung. Meskipun tindakan si pelaku white
collar—yang umumnya adalah pengusaha, industrialis, politisi, birokrat atau
profesional berkualitas, dianggap sebagai sebuah
kejahatan, tetap saja perlakuan terhadap mereka penuh dengan sejumlah
permakluman, ampunan dan toleran. Lihat saja bagaimana penanganan dan putusan-putusan pengadilan terhadap
kasus-kasus korupsi ataupun kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi.
Sebaliknya terhadap pelaku street
crime yang pelakunya kebanyakan golongan kelas bawah diperlakukan secara
keras, tegas, tanpa ampun dan dicitrakan sebagai sebuah bentuk perilaku
kejahatan yang menakutkan, menyeramkan, membahayakan kehidupan masyarakat. Celakanya
mitos ini telah mengendap dalam pikiran
dan tercermin dalam sejumlah perilaku masyarakat.
Contoh terdekat yang bisa kita lihat adalah bagaimana masyarakat bisa secara
spontan membakar hidup-hidup seorang pencuri amplifier masjid, atau menganiaya
dan melakukan persekusi terhadap muda mudi yang baru diduga berbuat asusila.
Mengapa hal ini terjadi? masih
menurut Reiman, orang yang memiliki atau berada dalam kuasa/power baik didalam
sistem peradilan maupun diluar sistem peradilan pidana memiliki kepentingan dan
mengambil manfaat ketika mereka mengabaikan, atau menutup-nutupi tindakan-tindakan
kejahatan yang dilakukan oleh si kaya dan untuk mengkamuflase apa yang sedang
ditutupi maka kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh si miskin harus dihadapi
dan ditangani secara serius dan dicitrakan sebagai perilaku yang sangat kotor,
berbahaya dan menyeramkan.
Jika
dikalkulasi, kerugian materi rata-rata dari kejahatan biasa seperti pencurian
dan pengutilan sekira beberapa ratusan ribu atau puluhan juta, namun kerugian
yang disebabkan oleh kejahatan kerah putih bisa berjuta kali lipat. Pada kasus
korupsi e-KTP misalnya, dana yang disalahgunakan sebesar 2,3 triliun itu bila
dimanafaatkan bisa untuk membangun 19 ribu rumah murah layak huni untuk
masyarakat tak mampu. Berbeda dengan pelaku kejahatan jalanan, pelaku kejahatan
kerah putih dalam melakukan aktivitas jahatnya didasarkan atas kerakusan dan
bukan atas dasar nafsu/khilaf sesaat. Benar, para koruptor ataupun
korporat-korporat, industrialis perusak lingkungan hidup tidak langsung
menodongkan sebilah pisau untuk mengambil harta benda kita seperti para
penjambret jalanan, namun kejahatan yang dilakukan oleh koruptor dan
industrialis itu sangat masif dan berdampak jangka panjang bahkan bisa
dirasakan hingga anak cucu kita.
Akibat bias akan status dan strata sosial dalam
sistem peradilan pidana dan mitos yang diciptakan tentang white collar crime,
masyarakat kelas bawahlah yang terus menanggung derita didalam penjara
sementara industrialis, korporat dan koruptor semakin berjaya dan kaya raya
dari hasil kejahatannya dan terus mendapatkan perlindungan dari sistem
peradilan pidana. Sungguh ironis, bukan?
Comments
Post a Comment