Amira Paripurna Ph.D.
Pasal 66 UU
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa
setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Pasal ini sesungguhnya lahir dengan
semangat untuk melindungi aktivis lingkungan hidup. Namun kenyataaan berkata
lain, catatan Walhi masih tetap menunjukkan bahwa kasus konflik lingkungan
hidup, sumber daya alam dan agraria yang berujung pada tindakan kriminalisasi
terhadap pejuang lingkungan hidup dan pejuang HAM di Indonesia masih tetap
tinggi tiap tahunnya. Joko Prianto,
misalnya, ditahan dengan dugaan pemalsuan dokumen berisi ribuan tanda tangan penolakan
pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang.
Modus “kriminalisasi” semacam
ini nampaknya sengaja dilakukan untuk meubah aktivisme kedalam kejahatan, dan
untuk menghindari clash berdarah antara aparat dan aktivis penegak
lingkungan. Dimana clash berdarah justru akan menghasilkan simpati
masyarakat dan protes publik yang lebih besar. Modus kriminalisasi semacam ini
juga dianggap efektif untuk “membungkam” aktifis lingkungan, karena dengan menggiring
mereka kedalam jeratan kasus hukum (non-lingkungan) maka alokasi waktu, energi
dan sumber keuangan yang mereka dedikasikan untuk perjuangan lingkungan dapat
menghambat aktivisme mereka, dan untuk memunculkan stigma jahat terhadap
pejuang lingkungan serta mengasingkan mereka dari dukungan jaringan.
Kriminalisasi
terhadap pejuang lingkungan tidak hanya terjadi di Indonesia, namun jamak pula
terjadi di negara-negara Amerika Latin maupun Eropa. Bahkan di Amerika Serikat,
sejak tahun 1983 telah muncul istilah eco-terorism dan ecotage untuk
mengasosiasikan aktivitas pejuang lingkungan dengan terorisme. Upaya ini terus
dilakukan dan dianggap cukup efektif untuk menciptakan label jahat dan jelek
serta mengutuk citra para aktivis lingkungan,
sekaligus untuk membangkitkan rasa takut masyarakat umum. Selain itu untuk mencari pembenaran terhadap cara-cara represif yang dipakai oleh aparat negara dalam menghadapi aktivis lingkungan, negara nampaknya berusaha mencari dan membangun kategori terkait pola perilaku tertentu yang dapat dikriminalkan. Bisa jadi dalam konteks ini, negara akan menciptakan dikotomi antara “good protestor” dan “bad protestor”, atau dikotomi antara aktivis dan teroris.
sekaligus untuk membangkitkan rasa takut masyarakat umum. Selain itu untuk mencari pembenaran terhadap cara-cara represif yang dipakai oleh aparat negara dalam menghadapi aktivis lingkungan, negara nampaknya berusaha mencari dan membangun kategori terkait pola perilaku tertentu yang dapat dikriminalkan. Bisa jadi dalam konteks ini, negara akan menciptakan dikotomi antara “good protestor” dan “bad protestor”, atau dikotomi antara aktivis dan teroris.
Reaksi Sosial dan Pelabelan
Dalam lensa
kriminologi, konsep kriminalisasi menemukan landasannya melalui teori reaksi
sosial atau pelabelan. Secara ringkas teori ini menyatakan bahwa kunci untuk memahami asal mula
penyimpangan terletak pada reaksi masyarakat/sosial, bukan pada perilaku aktor
individual itu sendiri. Penyimpangan tidak lagi dipandang hanya sebagai
tindakan patologis yang melanggar norma-norma konsensual, namun sebagai sesuatu
yang diciptakan melalui interaksi di tingkat mikro antara pelanggar hukum dan
penegak hukum. Proses ini untuk memastikan bahwa beberapa orang yang melakukan
tindakan yang dianggap “menyimpang” kemudian dikenal (mendapat stigma/label)
sebagai penyimpang, sedangkan yang lain tidak.
Melalui teori reaksi sosial dan pelabelan membuka jalan
baru untuk mempertanyakan secara kritis tentang proses ‘pendifinisian’ apa yang
disebut menyimpang atau bukan (baik/jahat) ketimbang sekedar mempertanyakan apa
itu perilaku yang menyimpang. Pertanyaan-pertanyaan kritis yang bisa diajukan
misalnya, ‘Siapa yang mendefinisikan orang lain/orang tertentu berperilaku
menyimpang?; ‘Siapa yang memiliki kekuatan untuk mendefinisikan bahwa yang lain
menyimpang sementara saya tidak menyimpang?, ‘Mengapa beberapa perilaku
didefiniskan sebagai buruk/menyimpang sementara perilaku lain tidak dikatakan
buruk’; serta ‘bagaimana peran menyimpang kemudian diadopsi dan dimainkan?’ Untuk
menjawab pertanyaan semacam itu, tidak cukup hanya mempelajari dan menelusuri bagaimana peraturan dan undang-undang
dibuat, namun lebih krusial adalah menelusuri dan mempertanyakan untuk
kepentingan siapa hal ini diadakan?
Lebih lanjut, John Muncie
dalam ‘The Theory and Politics of Criminalization’ mengemukakan pandanganya
bahwa pemahaman kritis tentang kriminalisasi sangat penting. Reaksi sosial dan pelabelan menandai langkah
pertama dalam memahami mengapa dan bagaimana hanya perilaku dan tindakan yang
mengganggu tertentu yang tunduk pada kriminalisasi dan mengapa sejumlah bahaya sosial
lain yang lebih serius seperti transaksi senjata ilegal; penipuan perusahaan besar, kejahatan korporasi kekerasan yang di back-up oleh negara
dan sebagainya masih terus diabaikan. Tampaknya bahaya sosial lain yang lebih serius tidak dianggap sebagai elemen inti dari ‘masalah kejahatan’ karena kenyataan yang ada memang masih secara rutin dipraktekkan impunitas terhadap kepentingan korporasi besar, dan dan bahkan mengalihkannya dengan mengekspos ‘kriminalisasi selektif.’
Comments
Post a Comment