Amira Paripurna S.H, LL.M, PhD.
Keterlibatan perempuan dalam ledakan di tiga gereja Surabaya,
Rusunawa Sidoarjo, dan Mapolresta Surabaya selama dua hari berturut menambah
daftar kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia. Pada 2016 misalnya,
Densus 88 menangkap perempuan bernama Dian Yulia Novi yang berencana
melancarkan aksi teror yang hendak meledakkan diri dengan target Istana
Negara.
Kasus lainnya yaitu penangkapan Jumiatun
Muslim alias Atun alias Bunga alias Umi Delima, istri Santoso, pimpinan
Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang tewas tertembak dalam operasi Tinombala. Ada
juga nama Ika Puspitasari, Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu Cahyaningsih,
Munfiatun, Rasidah binti Subari alias Najwa alias Firda, Ruqayah binti Husen
Luceno, Deni Carmelita, Nurul Azmi Tibyani, Rosmawati, dan Arina Rahma.
Perempuan-perempuan ini sudah dihukum atas keterlibatan dalam tindak pidana
terorisme di Indonesia
Banyak pertanyaan di benak masyarakat mengapa
perempuan bisa masuk dalam jaringan teroris, mengapa mereka mau menjadi pelaku
bom bunuh diri atau terlibat langsung dalam tindakan kekerasan?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini secara tidak
langsung menginsyaratkan bahwa ada bias jender yang tertanam dalam benak
masyarakat sehingga muncullah stereotipe bahwa perempuan tidak mungkin
melakukan kekerasan. Para perempuan yang terlibat dalam kelompok radikal bahkan
sering dianggap sebagai perempuan yang dalam kondisi terpaksa, diperbudak atau
dieksploitasi oleh seseorang yang memiliki otoritas dalam keluarga atau
kelompok yang diikutinya.
Namun kenyataannya tidak. Perempuan-perempuan
ini ternyata memiliki kombinasi alasan personal dan politis-ideologis. Pada
tingkat pribadi atau personal, perempuan yang terlibat langsung dalam aksi
kekerasan dan teror atau menjadi pelaku bom bunuh diri beralasan tindakannya
itu untuk mengejar kemuliaan, pengampunan dosa individu dengan harapan mencapai
surga.
Bias jender ini kemungkinan besar juga
mempengaruhi bagaimana aparat hukum dan intelijen dalam memasang target surveillance
terhadap anggota kelompok radikal teroris. Dalam banyak kasus, intelijen belum
memberikan perhatian khusus terhadap peran perempuan sebagai pelaku teror.
Selama ini BIN dan Intelijen Densus 88 belum
benar-benar memperhatikan secara serius informasi dan keberadaan teroris
perempuan. Dalam konteks terorisme di Timur Tengah, keterlibatan teroris
perempuan mungkin sudah umum, kebanyakan dari mereka memainkan peran kunci
sebagai kurir serta terlibat sebagai eksekutor aksi teror. Bahkan di
wilayah-wilayah yang dikendalikan oleh kelompok-kelompok seperti ISIS, beberapa
perempuan juga berfungsi sebagai penegak sosial aturan ISIS. Misalnya, di
Raqqa, pemolisian moral perempuan dilakukan oleh kekuatan perempuan, yang
dikenal sebagai al-Khansa.
Sementara itu di Indonesia sendiri fenomena ini termasuk relatif
baru. Ini tentu tak
lepas dari tumbuhnya konservatisme agama dan kenaikan visibilitas kelompok
garis keras di Indonesia.
Jauh sebelum perempuan-perempuan yang
mendukung maupun menjadi anggota radikal teroris ini terlibat langsung dalam
aksi teror, peran mereka dalam mencapai tujuan yang ingin diraih adalah
menciptakan dan mempertahankan kekhalifahan yaitu dengan melahirkan dan
memiliki banyak anak. Dalam konteks ini perempuan nampak hanya sebagai unsur
pendukung saja, padahal sesungguhnya peran mereka sangat sentral dalam mendidik,
mengkader dan menyiapkan anak-anak
mereka sebagai tentara-tentara Tuhan yang militan.
Dalam perspektif kelompok radikal teroris
perempuan adalah rahim generasi khalifah berikutnya. Dalam buku panduan ISIS
untuk perempuan ‘A Sister’s Role in Jihad’
(2014), misalnya, diberikan instruksi bagaimana para perempuan harus
membesarkan anak-anak sebagai tentara Tuhan. Ditekankan
pula signifikansi untuk mengkader anak sejak dini, bahkan dinyatakan bahwa “No
child is ever too young to be started off on jihad training.” Dalam buku
panduan ISIS tersebut misalnya juga menginstruksikan para perempuan, istri atau
ibu, untuk selalu melakukan story telling menjelang tidur tentang
pahlawan-pahlawan jihadis dan para martir, atau jika tidak mereka
diinstruksikan untuk menunjukkan kepada anak-anaknya video, buku dan
sumber-sumber internet yang berkaitan dengan peperangan-peperangan Islam. Para
ibu/istri diinstruksikan untuk membangun “total organization” dan keloyalan
terhadap organisasi didalam lingkungan keluarganya.
Lebih lanjut, dari segi taktis, penggunaan perempuan dalam aksi-aksi teror secara langsung dianggap
memiliki keunggulan strategis karena mereka dapat lebih mudah mengelabui serta menghindari
sistem deteksi dini dan sistem keamanan.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang
mendukung, bergabung atau direkrut oleh kelompok atau jaringan terorisme adalah
perempuan-perempuan yang memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi. Hal
ini berarti perempuan-perempuan tersebut pada umumnya membuat keputusan
berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri. Perempuan-perempuan yang berada
dalam lingkar jaringan kelompok radikal terorisme melihat dan menyadari
sepenuhnya apa yang menjadi pilihan dihadapannya. Apa yang dipilih dan dilakukannya
adalah bentuk dari pemberdayaan, pembebasan diri dan kesempatan untuk tetap hidup
dalam sistem belief, ideologi yang dipercaya dan dianutnya.
Karena itu, perempuan dalam lingkar jaringan
radikal teroris tak lagi bisa dipandang sepele. Mereka bukanlah makhluk polos
dan korban. Sebab pada kenyataannya, perempuan secara individu bisa menjadi aktor
utama dan agen yang sangat militan. Seperti pria, perempuan akan terlibat dan
bila perlu, mengangkat senjata.
Satu-satunya hal yang membatasi peran
perempuan untuk terlibat langsung dalam aksi teror adalah bagaimana kontrol
patriarkal berjalan di lingkungan perempuan yang bersangkutan. Ketika semakin
banyak perempuan terlibat dalam aksi terorisme, hal ini tidak cukup hanya
dilihat sebagai sebuah fenomena namun harus segera dilakukan pengawasan yang
intensif. Pendekatan dan langkah-langkah konterterorisme harus bisa
menyesuaikan dengan kecenderungan dan tren taktik yang dipakai oleh kelompok
radikal teroris.
Comments
Post a Comment