Para pemimpin politik dan agama dari
seluruh dunia mengecam keras atas teror mematikan di dua masjid di kota
Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3). Teror itu setidaknya telah menewaskan
50 orang dan setidaknya 48 menderita luka serius dalam teror yang terjadi di
tengah peribadatan salat Jumat itu.
Dari hasil penelusuran sosial media
milik pelaku teror ditemukan unggahan-unggahan sejumlah manifesto yang
berisikan ide-ide anti-imigran dan anti-Islam serta penjelasan-penjelasan
mengapa ia melakukan aksi biadab itu. Dari penelusuran ditemukan ternyata pelaku
teror merupakan pendukung supremasi kulit putih. Pemicunya adalah karena adanya
perasaan kebencian, xenophobia, etno-nasionalis, dan anti-imigran.
Teror di Selandia Baru sedikit banyak
telah memudarkan stereotype bahwa kelompok ekstrimis agama (Islam) lah
yang selama ini menjadi biang keladi tindakan terorisme.
Jika
ditilik dari sejarah terorisme di era modern, gelombang aksi terorisme telah
muncul dalam empat masa. Kemunculan awal berlangsung di era 1880 hingga 1920-an.
Pada periode ini kelompok terorisme bertujuan memenangkan reformasi politik
sipil dari tindasan pemerintahan otoriter.
Masa kedua terjadi pada 1920 hingga
1960an. Pada periode ini mereka berusaha memperjuangkan kedaulatan nasional.
Orientasi ini kemudian berubah pada era
1970an. Pada periode ini kelompok teroris memiliki ideologi kiri revolusioner,
seperti Brigade Merah Italia. Orientasi kelompok ini lebih kepada membela
kepentingan negara dunia ketiga.
Dan keempat era 2000-an atau paska
9/11. Pada era ini agama memiliki makna yang mendalam. Agama digunakan sebagai
pembenaran serta dijadikan sebagai sumber-sumber prinsip pengorganisasian untuk
mendirikan “dunia baru”, pada era ini pelakunya yakni kelompok ekstrimis
riligius semacam Al Qaeda atau ISIS. Pun sasarannya langsung mengarah ke warga
sipil sebagai korban terornya.
Kini dapat diperkirakan paska tragedi
di Selandia Baru, perhatian masyarakat internasional akan semakin terpusat pada
fenomena meningkatnya hate speech, hate
violence dan hate crimes yang semakin mengglobal ini. Fenomena yang
hampir terjadi di hampir semua negara yang memiliki keberagaman tradisi budaya,
sejarah kolonial ataupun post-kolonial, beragam tradisi agama, sistem politik
yang bervariasi, maupun kesenjangan ekonomi, diyakini tidak hanya bisa merusak
hubungan di level individu ataupun inter-komunitas tapi bisa berujung pada
gangguan keamanan negara.
Pertanyaannya, apakah ada kesamaan
gerakan yang dilakukan kelompok supremasi kulit putih (white supremacy)
dan kelompok ekstrimis berbasis keagamaan ini? Seperti apa sejatinya keterkaitan
antara hate violence/hate crimes dan terorisme?
Batasan
yang kabur antar Hate Crimes dan Terorisme
Mereka
para simpatisan dan pendukung kelompok white supremacy dan ekstrimis
agama pasti menggagap keduanya saling berlawanan dan akan menolak anggapan jika
keduanya memiliki pandangan yang sama. Yakni sama-sama memiliki pandangan
kebencian. Ini bisa dilihat dari cara pandang kedua kelompok yang hampir serupa
terhadap dunia dan sekitarnya. Mereka memliki paham kebencian terhadap kelompok
tertentu. Juga sama-sama paranoid, memiliki pemikiran yang beracun yakni campuran
antara perasaan superior dan inferior terhadap yang lain di luar kelompoknya. Selain itu, kelompok ini biasanya berusaha bernostalgia
terhadap masa lalu yang didominasi oleh imajinasi dominasi budaya.
Kesamaan-kesamaan
tersebut telah menjungkir balikkan rasio dan pola pikir mereka sehingga
berujung dengan dilakukannya tindakan kekerasan dan teror.
Jika
dilihat dari sisi pemimpin kelompok/pendiri, umumnya mereka adalah kaum
terdidik dan berasal dari kelas sosial menengah atas. Richard Spencer, misalnya,
pimpinan dan think tank terkemuka alt-Right adalah anak seorang dokter
mata dan pewaris kekayaan ladang kapas yang menerima gelar MA bidang humaniora
dari Universitas Chicago.
Sementara
Osama bin Laden, pimpinan Al-Qaeda, adalah seorang multimiliuner, mengenyam dua
pendidikan tinggi ekonomi dan teknik sipil. Pemimpin ISIS, Abu Bakar
al-Baghdadi menerima gelar PhD dari Universitas Baghdad.
Kelompok-kelompok
ini umumnya tidak menggunakan cara rekrutmen secara top-down tapi lebih
menggunakan mekanisme peer to peer.
Garis pemisah antara hate crimes
dan terorisme memanglah kabur (vague). Di Amerika misalnya, salah satu bentuk
terorisme paling awal di negara tersebut adalah hate crimes yang dipicu
oleh sentimen rasial dan politik dari Ku Klux Klan. Tindakan ini pada akhirnya mengantarkan
pada upaya legislatif mengatasi fenomena umum terorisme yang bermotif rasial
ini. Shimamoto (2004) menyatakan bahwa ‘the
Enforcement Act’ tahun 1870 dan ‘Ku Klux Klan Act’ tahun 1871 adalah
langkah pertama yang diambil oleh Amerika untuk menangani kekerasan rasial
bermotivasi teroristik untuk melindungi hak-hak warga yang menjadi sasaran hate
crimes.
Sejumlah
akademisi pun berpandangan bahwa antara hate crimes dan terorisme memiliki
sejumlah kesamaan karakter. Di antaranya aspek sosio-politik, aspek komunikasi dalam
penyampaian pesan pandangan kebenciannya serta penggunaan kekerasan yang
menargetkan warga sipil beserta sub-kelompoknya sebagai strategi dan taktik
untuk penyerangan, pertahanan atau pembalasan.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Fakta menunjukkan bahwa terorisme
tidak hanya bersumber dari ektrimisme agama (Islam) saja. Namun sumber-sumber ajaran keagamaan (apapun
agama itu) bisa menjadi pendorong munculnya pandangan kebencian dan berujung
fatal hingga melakukan kekerasan dan teror.
Salah satu pola dari hate crimes yang terus meningkat adalah
bersumber dari pandangan keagamaan dan meliputi seluruh bentuk ekstrimisme agama
(anti-Budha, anti-Mormon, anti-Yahudi, anti-Islam, anti-Kristen, anti-Sikh,
anti-Jehovah, dll).
Pada 2017, Direktur FBI telah
menyatakan bahwa ancaman kekerasan dan teror yang bersumber dari kelompok
pendukung supremasi kulit putih setidaknya sama dengan ancaman yang muncul dari
kelompok ekstrimis agama (Islam). Selanjutnya dalam laporannya di depan para
senator, FBI memperkirakan dari sekitar 1000 kasus terorisme domestik yang
bersumber dari kelompok supremasi kulit putih jumlahnya kurang lebih
sama dengan kasus terorisme yang terkait dengan ekstrimisme Islam yang juga
sedang diselidiki FBI.
Artinya, laporan FBI itu merupakan
sinyal yang membahayakan bahwa motif hate
crimes semakin meningkat.
Meski sudah ada sinyal itu namun
mereka masih punya perbedaan dalam merespons. Sejak 2001 misalnya, pemerintah
di seluruh dunia telah berkomitmen kuat untuk menghadapi teror yang dilakukan
oleh ekstrimis berbasis agama (violent religious extremism groups) dengan
mengeluarkan perundang-undangan yang kurang lebih sama isinya. Perundang-undangan
itu diantaranya mengatur untuk memperketat surveillance sebagai upaya
preventif, mengkriminalisasi mereka yang mengajak, mendorong atau memfasilitasi
untuk dilakukannya teror, mengkriminalisasi keanggotaan seseorang yang
berafiliasi pada organisasi teroris, mendaftar nama-nama dan organisasi teroris
(Islam), melakukan kontra ekstrimisme (Islam), dengan memblokir sumber-sumber
keuangannya dll.
Sebaliknya, komitmen untuk menghadapi
dan memperlakukan teror yang dilakukan white supremacist atau jenis
kelompok ekstrimis kekerasan (violent extremism groups) lainnya yang
juga semakin menguat terlihat belum begitu serius dilakukan. Bahkan dari dari
hasil pemeriksaan pelaku terror di Selandia Baru, ditemukan bukti adanya
transfer sejumlah dana yang dikirimkan ke kelompok ekstrim sayap kanan di
Austria. Hal ini menunjukkan kelompok-kelompok ini juga telah berjejaring
seperti kelompok-kelompok teroris lainnya.
Apapun wujudnya, kelompok-kelompok
yang memiliki pandangan kebencian ini memang membahayakan dan tidak bisa lagi
disepelekan. Paska teror, pemerintah Selandia Baru memang sudah bereaksi cepat
dalam menindak si pelaku teror. Empati, simpati dan solidaritas yang luar biasa
terhadap komunitas Muslim yang menjadi korban, tidak hanya datang dari
pemerintah namun juga hampir seluruh warga negara itu.
Namun itu saja tidak cukup. Diperlukan
sebuah respons yang berimbang sebagaimana menyikapi peristiwa 9/11 ataupun
teror yang bersumber dari ekstremisme agama. Penyamaan persepsi atas bahaya hate
speech sudah sepatutnya dilakukan. Perlu segera dilakukan perumusan langkah-langkah
bersama melalui sarana-sarana hard approach maupun soft approach dalam
mencegah dan menghadapi semakin memburuknya fenomena hate speech serta ancaman
kekerasan dan teror yang bersumber dari kelompok pendukung supremasi kulit
putih ataupun rasial lainnya.
Amira Paripurna, Ph.D*
Penulis adalah Staf pengajar
Departemen Hukum Pidana dan Peneliti pada Pusat Studi HAM (HRLS), Fakultas
Hukum Universitas Airlangga. Saat ini sedang menjadi visiting fellow pada Asian Law Institute (ASLI) di National
University of Singapore (NUS).
Comments
Post a Comment